sosmed-whatsapp-green Follow WhatsApp Channel Haijakarta.id
Follow

HAIJAKARTA.ID – Kemenag promosi nikah melalui program GAS Nikah (Gerakan Sadar Pencatatan Nikah) menuai beragam respons dari netizen, khususnya kalangan Gen Z.

Di tengah upaya pemerintah mendorong pernikahan yang tercatat secara resmi, warganet justru menyoroti persoalan yang lebih mendasar.

Program GAS Nikah yang digelar Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Pati ini dilakukan secara langsung di ruang publik, salah satunya saat Car Free Day di Alun-alun Kota Pati.

Melalui pendekatan interaktif, petugas Kemenag menyosialisasikan pentingnya pencatatan pernikahan sesuai aturan negara dan agama.

Namun, unggahan video kegiatan tersebut di media sosial instagram @kemenagkabpati dan @febi.mc justru memicu diskusi luas.

Sejumlah netizen Gen Z menyampaikan pandangan bahwa tantangan utama generasi muda saat ini bukan soal keengganan menikah, melainkan kekhawatiran akan masa depan pernikahan itu sendiri.

“Gen Z sebenarnya tidak takut menikah, tapi takut salah pilih orang,” tulis salah satu netizen akun @melinaafifatunifadah yang komentarnya banyak disetujui warganet lain, hingga 14.995 like.

Pandangan tersebut mencerminkan kegelisahan Gen Z terhadap realitas hubungan modern.

Tingginya angka perceraian, maraknya kasus toxic relationship, kekerasan dalam rumah tangga, hingga tekanan ekonomi menjadi alasan mengapa banyak anak muda memilih lebih berhati-hati sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.

Di sisi lain, Kemenag promosi nikah melalui GAS Nikah bertujuan memberikan pemahaman bahwa pernikahan bukan sekadar urusan pribadi, tetapi juga memiliki aspek hukum dan perlindungan hak, terutama bagi perempuan dan anak.

Pencatatan nikah dinilai penting untuk mencegah praktik nikah siri yang berpotensi merugikan salah satu pihak.

Kemenag juga menekankan bahwa program ini bukan paksaan untuk segera menikah, melainkan edukasi agar pasangan yang sudah siap secara mental, finansial, dan emosional dapat menempuh pernikahan yang sah dan tercatat.

Respons Gen Z terhadap program ini menjadi cerminan perubahan pola pikir generasi muda.

Mereka tidak menolak pernikahan, tetapi menginginkan kesiapan yang matang, komunikasi yang sehat, serta pasangan yang tepat sebelum berkomitmen seumur hidup.

Fenomena ini menunjukkan bahwa promosi pernikahan di era digital tidak cukup hanya mengajak “ayo nikah”, tetapi juga perlu dibarengi edukasi tentang kesiapan psikologis, pemilihan pasangan, dan kesehatan relasi.

Dengan demikian, tujuan membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah dapat benar-benar tercapai.