Aksi Warga Aceh Desak Penetapan Bencana Nasional Berujung Tindakan Represif Aparat, Begini Tanggapan DPRA Aceh
HAIJAKARTA.ID – Aksi Warga Aceh Desak Penetapan Bencana Nasional mencuat ke publik setelah protes masyarakat yang menuntut penetapan status bencana nasional diduga berujung tindakan represif aparat keamanan.
Aksi tersebut dipicu oleh lambannya penanganan bencana yang telah melanda Aceh Utara selama lebih dari satu bulan.
Aksi Warga Aceh Desak Penetapan Bencana Nasional berlangsung sejak siang hari kemarin, Kamis (25/12/2025) di ruang publik.
Massa menilai pemerintah pusat abai terhadap penderitaan warga yang kehilangan rumah, mata pencaharian, serta rasa aman akibat bencana yang tak kunjung ditangani secara memadai.
Warga menyebut, bencana di Aceh Utara telah berlangsung sekitar satu bulan, namun penanganan dinilai lambat dan tidak sebanding dengan dampak yang dirasakan masyarakat.
Kondisi tersebut memicu akumulasi kekecewaan hingga mendorong warga turun ke jalan untuk menyuarakan tuntutan kemanusiaan.
Aksi dilakukan secara terbuka sebagai bentuk protes atas absennya kehadiran negara.
Masyarakat menegaskan bahwa bencana di Aceh bukan lagi persoalan lokal, melainkan krisis kemanusiaan yang membutuhkan pengakuan dan penanganan nasional.
Namun, situasi di lapangan dilaporkan berubah, alih-alih mendapatkan dialog, massa aksi justru dihadapkan pada aparat keamanan.
Seiring waktu, seperti yang terlihat dalam postingan pada akun instagram @storyrakyat_ aksi yang semula berupa penyampaian aspirasi berubah menjadi tindakan represif.
Aparat diduga melakukan pembubaran paksa, intimidasi, hingga kekerasan fisik terhadap warga.
Sejumlah masyarakat dilaporkan mengalami pemukulan dan perlakuan kasar, meski mereka sedang menyuarakan tuntutan di tengah kondisi bencana yang belum tertangani secara optimal.
Tanggapan DPRA Aceh
Menanggapi peristiwa tersebut, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Hj. Salmawati atau akrab disapa Bunda Salma, menyayangkan keras dugaan aksi brutal oknum aparat TNI dan Brimob terhadap masyarakat Aceh saat pengawalan penyaluran bantuan kemanusiaan ke Aceh Tamiang.
Menurutnya, kekerasan di lapangan tidak hanya melukai fisik warga, tetapi juga melukai rasa keadilan dan kemanusiaan masyarakat yang tengah berada dalam situasi darurat bencana.
Bunda Salma menegaskan bahwa insiden tersebut berpotensi membangkitkan luka lama masyarakat Aceh yang memiliki sejarah panjang konflik.
Ia mengingatkan agar aparat negara bersikap lebih bijak dan humanis.
“Masyarakat Aceh ini bekas konflik panjang. Jangan sekali-kali membangkitkan luka lama,” tegasnya.
Ia juga menyoroti aksi simbolik pengibaran bendera oleh sebagian warga sebagai bentuk protes dan kekecewaan.
Menurutnya, tindakan tersebut tidak bisa dilepaskan dari rasa frustrasi masyarakat yang belum melihat penetapan status bencana nasional oleh pemerintah pusat.
“Itu bentuk jeritan rakyat. Mereka ingin pemerintah hadir dan menetapkan Aceh sebagai bencana nasional,” ujarnya.
Lebih lanjut, Bunda Salma menyampaikan keprihatinannya atas kondisi warga yang disebut mengalami kekerasan hingga berdarah-darah.
Ia mendesak evaluasi serius terhadap aparat yang bertugas agar peristiwa serupa tidak terulang.
“Kita kasihan masyarakat. Mereka sedang tertimpa musibah, bukan untuk diperlakukan dengan kekerasan. Negara harus hadir dengan empati, bukan dengan cara-cara represif,” pungkasnya.

