sosmed-whatsapp-green Follow WhatsApp Channel Haijakarta.id
Follow

HAIJAKARTA.ID – Raden Ajeng Kartini, atau yang lebih dikenal sebagai Kartini, adalah sosok yang menjelma menjadi ikon perjuangan perempuan di Indonesia.

Dalam sejarah pergerakan emansipasi, namanya bersinar sebagai pahlawan yang memperjuangkan hak-hak perempuan di tengah tekanan budaya patriarki pada masa kolonial Belanda.

Perjalanan hidupnya yang singkat namun penuh makna mencerminkan semangat dan kegigihan dalam merintis jalan bagi kesetaraan gender dan akses pendidikan bagi semua lapisan masyarakat.

Dari sebuah desa kecil di Tanah Jawa, Kartini mengangkat derajat perempuan Indonesia melalui tulisan-tulisannya yang menginspirasi dan tindakannya yang revolusioner.

Perannya tidak hanya memberi harapan bagi perempuan Jawa pada zamannya, tetapi juga menorehkan jejak yang abadi dalam sejarah bangsa.

Dengan semangatnya yang membara, Kartini melampaui batasan sosial dan budaya yang membelenggu, membangun pondasi bagi gerakan emansipasi yang terus berkembang hingga saat ini.

Latar Belakang Keluarga

Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di desa Mayong, Jepara, Jawa Tengah. Dia berasal dari keluarga bangsawan Jawa yang kaya, namun di masa itu, perempuan terutama dari kalangan bangsawan tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal.

Masa Remaja

Pada masa remajanya, Kartini mulai menyadari ketidakadilan yang dialami oleh perempuan Jawa, terutama dalam hal pendidikan dan pernikahan. Meskipun demikian, Kartini tetap bersemangat untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan bermimpi untuk membuka jalan bagi perempuan Jawa agar dapat mendapatkan pendidikan yang layak.

Pernikahan Hingga Wafat

Kartini menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat pada tahun 1903, namun pernikahannya tidak menghentikan semangatnya dalam berjuang.

Dia terus menulis surat-surat yang mengkritik tradisi-tradisi patriarki dan menyerukan pentingnya pendidikan bagi perempuan.

Sayangnya, Kartini wafat pada usia yang masih muda, 25 tahun, pada tanggal 17 September 1904.

Penghargaan

Pada tahun 1912, Yayasan Kartini di Semarang mendirikan Sekolah Kartini, sebuah lembaga pendidikan khusus untuk wanita. Sekolah ini didirikan atas inisiatif keluarga Van Deventer, yang merupakan tokoh Politik Etis pada masa itu.

Pembangunan Sekolah Kartini tidak hanya terbatas di Semarang, tetapi juga berkembang ke berbagai daerah seperti Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.

Setelah wafatnya RA Kartini, seorang pria Belanda bernama J.H. Abendanon, yang menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, mengumpulkan surat-surat yang ditulis oleh Kartini saat berkomunikasi dengan teman-temannya di Eropa.

Surat-surat tersebut menjadi dasar penyusunan buku yang awalnya berjudul “Door Duisternis tot Licht” (Dari Kegelapan Menuju Cahaya), yang diterbitkan pada tahun 1911.

Buku tersebut dicetak dalam lima edisi, dengan edisi kelima khusus menampilkan surat-surat Kartini. Pemikiran Kartini menarik perhatian masyarakat, terutama di kalangan Belanda, karena ia merupakan seorang wanita pribumi yang berani berkomunikasi dengan orang Eropa.

Pemikiran Kartini membawa perubahan dalam pandangan masyarakat Belanda terhadap wanita pribumi pada masa itu. Tulisannya juga menginspirasi tokoh-tokoh Indonesia seperti W.R Soepratman, yang menciptakan lagu “Ibu Kita Kartini”.

Berkat jasanya, Kartini kemudian diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Presiden Soekarno, yang juga menetapkan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini untuk diperingati hingga kini.

Melalui perjuangannya yang gigih dan inspiratif, Kartini telah mengilhami jutaan perempuan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk berdiri dan berjuang untuk hak-hak mereka.

Meskipun telah berpulang, semangat dan visi Kartini terus hidup, mendorong perubahan positif dalam masyarakat menuju kesetaraan gender dan keadilan bagi semua.