Follow WhatsApp Channel Haijakarta.id
Follow

HAIJAKARTA.ID- Daftar tuntutan buruh yang dikabulkan MK terkait UU Cipta kerja, dari hak hingga upah menemui babak baru.

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Partai Buruh terkait Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Gugatan tersebut memiliki nomor perkara 168/PUU-XXI/2023, dan berbagai tuntutan yang diajukan terkait dengan ketenagakerjaan berhasil dikabulkan oleh MK. Sidang putusan ini digelar di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis, 31 Oktober 2024.

Daftar Tuntutan Buruh yang Dikabulkan MK terkait UU Cipta Kerja

Ketua MK, Suhartoyo, menyampaikan beberapa perubahan dalam sejumlah pasal UU Cipta Kerja yang dinilai tidak sejalan dengan UUD 1945. Berikut adalah detail beberapa tuntutan yang berhasil dikabulkan oleh MK:

1. Tenaga Kerja Asing

Pasal 42 ayat (4) yang mengatur penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia juga mengalami perubahan.

MK menyatakan bahwa penggunaan tenaga kerja asing hanya diperbolehkan untuk posisi dan jangka waktu tertentu, serta dengan syarat kompetensi yang sesuai dengan jabatan.

Mahkamah juga menekankan perlunya prioritas bagi tenaga kerja Indonesia dalam posisi yang tersedia.

2. Jangka Waktu Pekerjaan

Pasal 56 ayat (3) terkait jangka waktu pekerjaan tertentu juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak disesuaikan.

Dalam putusan MK, disebutkan bahwa jangka waktu pekerjaan tertentu tidak boleh melebihi lima tahun, termasuk perpanjangan, sehingga mencegah adanya hubungan kerja jangka pendek yang berlangsung terlalu lama tanpa kejelasan status pekerjaan.

3. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Pasal 57 ayat (1) yang mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) kini mewajibkan setiap perjanjian kerja tersebut dibuat dalam bentuk tertulis dengan bahasa Indonesia dan menggunakan huruf Latin. Hal ini bertujuan untuk memberikan kejelasan dan legalitas yang lebih baik bagi para pekerja.

4. Alih Daya

Alih daya atau outsourcing, sebagaimana tercantum dalam Pasal 64 ayat (2), juga direvisi. Kini, pemerintah, melalui Menteri Tenaga Kerja, harus menetapkan jenis dan bidang pekerjaan yang dapat dialihkan kepada perusahaan penyedia layanan.

MK menggarisbawahi pentingnya perjanjian alih daya yang jelas dan tertulis agar dapat melindungi hak pekerja dalam sistem outsourcing.

5. Istirahat Mingguan

MK juga menyesuaikan Pasal 79 ayat (2) huruf b yang mengatur istirahat mingguan. Mahkamah menegaskan bahwa pekerja yang bekerja enam hari dalam seminggu berhak atas satu hari libur, dan bagi pekerja yang bekerja lima hari dalam seminggu, mereka berhak atas dua hari istirahat.

Hal ini bertujuan untuk memberikan keseimbangan antara waktu kerja dan waktu istirahat bagi tenaga kerja di Indonesia.

6. Penghidupan Layak Bagi Kemanusiaan

Pasal 88 ayat (1) juga diperbaiki oleh MK agar lebih sesuai dengan makna “penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Mahkamah menegaskan bahwa penghidupan layak harus mencakup upah yang mampu memenuhi kebutuhan pokok pekerja dan keluarganya, seperti pangan, papan, pendidikan, kesehatan, hingga rekreasi dan jaminan hari tua.

7. Perumusan Kebijakan Upah Melalui Dewan Pengupahan Daerah

MK menyatakan bahwa Pasal 88 ayat (2) perlu melibatkan dewan pengupahan daerah dalam merumuskan kebijakan pengupahan.

Dengan demikian, terdapat unsur pemerintah daerah dalam setiap kebijakan upah yang akan dirumuskan, guna menciptakan penetapan kebijakan upah yang lebih representatif dan sesuai dengan kondisi wilayah.

8. Struktur dan Skala Upah yang Proporsional

Dalam Pasal 88 ayat (3), struktur dan skala upah di perusahaan harus bersifat proporsional. Artinya, upah yang diterima harus disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawab pekerja, agar tercipta keadilan di dalam dunia kerja.

9. Penetapan Upah Minimum Sektoral

Pasal 88C direvisi untuk mengamanatkan gubernur agar menetapkan upah minimum sektoral di wilayah provinsi, dan apabila diperlukan, juga di tingkat kabupaten/kota.

Langkah ini diambil agar penetapan upah minimum bisa lebih responsif terhadap kebutuhan ekonomi lokal.

10. Indeks Tertentu dalam Penentuan Upah

Frasa “indeks tertentu” dalam Pasal 88D ayat (2) kini diartikan sebagai variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja pada pertumbuhan ekonomi wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan mempertimbangkan kepentingan perusahaan serta pekerja.

11. Situasi Ekonomi dalam Penghitungan Upah

Pasal 88F mengatur situasi ekonomi tertentu yang dapat memengaruhi penetapan upah. Hal ini dapat mencakup bencana alam atau situasi ekonomi global yang memengaruhi kondisi ekonomi nasional.

Kondisi ini memungkinkan perusahaan menyesuaikan pengupahan secara proporsional.

12. Upah di Atas Minimum

Pasal 90A mengatur bahwa upah di atas upah minimum dapat ditetapkan melalui kesepakatan antara pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja.

Ini memberikan ruang bagi perusahaan dan pekerja untuk menentukan upah yang sesuai dengan kondisi dan produktivitas perusahaan.

13. Penyusunan Struktur Upah

Pasal 92 ayat (1) mewajibkan pengusaha untuk menyusun struktur upah di perusahaan dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti kemampuan perusahaan, produktivitas, masa kerja, jabatan, dan kualifikasi.

14. Prioritas Hak Pekerja

Dalam Pasal 95 ayat (3), MK menyatakan bahwa hak pekerja harus diprioritaskan atas semua kreditur dalam hal terjadi kebangkrutan perusahaan. Langkah ini untuk memastikan hak pekerja terjamin meskipun perusahaan mengalami krisis.

15. Perundingan Bipartit

Frasa perundingan bipartit dalam Pasal 151 ayat (3) kini harus dilakukan dengan semangat musyawarah untuk mufakat.

Ini bertujuan untuk memastikan bahwa perundingan antara pekerja dan pengusaha berlangsung dengan prinsip kesetaraan dan keadilan.

16. Mekanisme PHK

Pasal 151 ayat (4) mengatur bahwa PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, sehingga keputusan PHK akan memiliki dasar hukum yang jelas dan tetap.

17. Hak Pekerja Saat Proses Penyelesaian

Pasal 157A ayat (3) menyebutkan bahwa hak pekerja harus dijamin hingga proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial mencapai keputusan yang berkekuatan hukum tetap.

19. Pembayaran Pesangon

Pasal 156 ayat (2) kini memuat bahwa pesangon pekerja harus diberikan paling sedikit sesuai ketentuan yang berlaku, memberikan jaminan lebih bagi pekerja yang terkena PHK.

Keputusan Mahkamah Konstitusi ini memberikan harapan bagi pekerja untuk mendapatkan perlindungan lebih dalam berbagai aspek ketenagakerjaan.

Dengan adanya putusan ini, diharapkan pemerintah, pengusaha, dan pekerja dapat bekerja sama membangun iklim ketenagakerjaan yang adil dan berkelanjutan di Indonesia.