Dampak Pemberian MBG bagi Lansia dan Difabel, Ahli Ingkatkan Bahaya dan Risiko
HAIJAKARTA.ID – Pemerintah menyiapkan langkah baru dengan memperluas program makan bergizi, yang sebelumnya menyasar anak-anak, menuju kelompok usia lanjut serta penyandang disabilitas.
Kebijakan ini kembali menyorot dampak pemberian MBG pada lansia yang dinilai bisa positif namun tetap berisiko jika pengawasan tidak ketat.
Dampak Pemberian MBG bagi Lansia
Rencana perluasan ini bukan berada di bawah Badan Gizi Nasional (BGN), melainkan menjadi kelanjutan program Permakanan milik Kementerian Sosial.
Program bantuan makanan tersebut sebenarnya telah berjalan sejak 2022, terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayur, buah, serta air mineral.
Kemensos memastikan dampak pemberian MBG pada lansia akan optimal bila standar pemenuhan gizi dipertahankan.
MBG untuk lansia dan difabel akan mulai berjalan pada 2026 dengan sasaran 100 ribu lansia terlantar di atas usia 75 tahun serta penyandang disabilitas yang membutuhkan.
Mensos Saifullah Yusuf menyampaikan bahwa makanan bergizi gratis diberikan dua kali sehari untuk pagi dan siang, dan diantar setiap pagi oleh kelompok masyarakat (POKMAS).
Ia menegaskan dalam keterangannya, “Menu dan pengirimannya kami sesuaikan dengan kebutuhan lansia, dan layanan ini tetap berjalan meski hari libur.”
POKMAS akan memperbarui menu sesuai standar MBG, sementara pedoman gizi bagi usia lanjut menekankan pengurangan gula, garam, dan lemak serta peningkatan konsumsi sayur dan buah.
MBG bagi Lansia Menurut Para Ahli
Peneliti Sri Institute, Eka Afriana Djamhari, menilai program ini baik sebagai keberlanjutan Permakanan.
Namun ia mengingatkan bahwa pengelolaan tidak bisa disamakan dengan MBG untuk sekolah yang selama ini dinilai belum transparan.
Eka mengatakan, “Jika program ini ingin di-branding sebagai MBG, boleh saja. Tetapi mekanismenya harus jauh lebih jelas dibanding MBG sekolah.”
Dampak pemberian MBG pada lansia juga perlu dipertimbangkan dari sisi keamanan pangan, mengingat kasus keracunan pernah berulang dalam program MBG anak.
Data BGN menunjukkan 211 dari 441 kejadian keracunan pangan terkait MBG. CISDI juga mencatat 5.626 kasus keracunan sejak Januari–September 2025.
Eka menekankan bahwa kualitas makanan harus dikendalikan dengan melibatkan komunitas lokal, seperti kelompok RT atau kader.
Ia menyebut, “Pelibatan lansia atau difabel dalam proses penyiapan bisa menjadi cara agar mereka tidak hanya menjadi penerima, tapi juga turut berperan.”
Direktur SIGAB Indonesia, Joni Yulianto, mempertanyakan kriteria penerima MBG bagi difabel. Menurutnya, data difabel yang belum akurat bisa membuat program salah sasaran.
Ia menilai dampak pemberian MBG pada lansia dan difabel tidak akan maksimal bila data penerima masih bermasalah.
Joni menyampaikan, “Selama data belum diperbaiki, peluang salah sasaran sangat besar. Bahkan risiko penyimpangan bisa meningkat.”
Ia juga menilai bahwa beberapa kelompok difabel sudah mendapatkan makanan, terutama mereka yang tinggal di asrama. Karena itu, ia mempertanyakan nilai tambah program MBG bagi difabel tertentu.
Selain itu, ia menyebut setiap kelompok difabel memiliki kebutuhan diet yang berbeda.
Misalnya, difabel dengan down syndrome tidak diperbolehkan mengonsumsi tepung, sementara penyandang autisme perlu menghindari gula dan coklat.
Ahli epidemiologi, Dicky Budiman, menegaskan bahwa lansia merupakan kelompok rentan secara biologis karena mengalami penurunan imun.
Dengan demikian, dampak pemberian MBG pada lansia dapat menjadi ancaman jika makanan tidak aman.
Ia menjelaskan, “Kita perlu sistem keamanan pangan yang preventif, dari dapur hingga distribusi. Dua porsi sekaligus harus dipastikan aman jika dikirim di pagi hari.”
Tantangan operasional juga besar.
Porsi kedua yang disimpan pada suhu ruang dapat masuk “zona bahaya” (4–60°C) yang mempercepat pertumbuhan bakteri.
Dicky menilai distribusi harus memakai wadah insulated atau cool box.
Petugas ataupun keluarga penerima harus diberi panduan penyimpanan dan pemanasan makanan.
Standar Dapur dan Pengawasan Real-Time Jadi Kunci
Dapur produksi harus tersertifikasi dengan standar alat, SOP produksi, kebersihan, serta titik kontrol kritis seperti:
- Temperatur memasak minimum
- Pendinginan cepat hingga 4°C
- Pemanasan ulang minimal 75°C
- Higienitas tenaga pengolah
- Pemerintah juga disarankan memakai pemasok bersertifikat.
Dicky menambahkan perlunya uji coba program sebelum peluncuran nasional. Pilot project dianggap penting untuk mengevaluasi keamanan, efektivitas, dan manajemen risiko.
Untuk meminimalkan risiko serupa kasus-kasus sebelumnya, dibutuhkan sistem pelaporan real-time serta tim respons cepat yang terintegrasi dengan layanan kesehatan.
Pada skala besar, risiko kesalahan meningkat sehingga model desentralisasi dapur dinilai lebih aman.
Dicky menutup dengan menekankan bahwa dampak pemberian MBG pada lansia akan bergantung pada kesederhanaan menu, keamanan pangan, dan ketiadaan bahan ultra-proses.
