HAIJAKARTA.ID – DKI Jakarta memiliki sejarah panjang yang kaya dan penuh warna.

Dalam perjalanannya, DKI Jakarta telah mengalami berbagai perubahan signifikan, termasuk pergantian beberapa nama ayng pernah terjadi.

“Sepanjang sejarahnya, ternyata Jakarta sudah 13 kali berganti nama,” dilansir dari akun Instagram @majalah.jakita pada Senin (13/5/2024)

Mulai dari masa kejayaan terdahulu, DKI Jakarta terus berkembang dan beradaptasi dengan perubahan zaman.

Setiap pergantian nama mencerminkan perubahan politik, sosial, dan ekonomi yang terjadi di kota ini.

Dari era kerajaan, kolonialisme, hingga kemerdekaan, Jakarta telah menjadi saksi bisu berbagai peristiwa penting yang membentuk identitasnya saat ini.

Kota ini tidak hanya menjadi pusat administrasi, tetapi juga pusat budaya dan ekonomi yang berpengaruh besar di Indonesia.

Hingga kini, Jakarta masih memainkan peran vital dalam kehidupan bangsa ini.

Kota ini menjadi rumah bagi jutaan penduduk dengan latar belakang yang beragam, menciptakan dinamika unik yang mencerminkan keberagaman Indonesia.

Transformasi Jakarta dari masa ke masa menunjukkan bagaimana kota ini terus berupaya menyesuaikan diri dengan tantangan dan peluang yang dihadapi.

Sejarah panjang dan berliku Jakarta memberikan kita perspektif yang lebih dalam tentang pentingnya kota ini dalam konteks nasional maupun internasional.

Mengenali perjalanan Jakarta dapat membantu kita menghargai kompleksitas dan keindahan dari ibu kota yang terus bergerak maju ini.

Berikut adalah sejarah perjalanan 13 nama kota Jakarta yang sayang untuk dilewatkan:

1.  Sunda Kelapa

Edi Sedyawati, dkk (1987) dalam Sejarah Kota Jakarta 1950-1980 mengatakan, Sunda Kelapa atau Sunda Kalapa merupakan kota pelabuhan yang kemudian berkembang menjadi kota pusat perdagangan, terutama hubungan dagang dengan orang-orang asing.

Mulanya, Sunda Kelapa berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran.

Pelabuhan ini merupakan pusat ekspor berbagai produk produk perdagangan ke Malaka, antara lain lada, beras, asam, emas, sayuran, buah-buahan, sapi, kambing, dan sebagainya.

Kondisi tersebut, memikat pemimpin Portugis yang berpangkalan di Malaka untuk menjalin hubungan erat dengan Kerajaan Pajajaran.

Tujuannya, agar mendapatkan izin membangun benteng di Sunda Kelapa.

Kerajaan Pajajaran memberikan izin pada 21 Agustus 1522, ditandai dengan pendirian sebuah batu berinskripsi.

Sayangnya, sebelum benteng Portugis berdiri, Sunda Kelapa lebih dulu direbut oleh Pangeran Fatahillah dari Kesultanan Demak pada 1527.

Dengan demikian, Sunda Kelapa beralih dari kekuasaan Pajajaran yang bercorak Hindu ke Kesultanan Demak yang bercorak Islam.

Peralihan tersebut diawali dengan penaklukan Angkatan Laut Portugis di Teluk Jakarta oleh armada yang dipimpin Fatahillah.

Dengan kemenangan itu, maka nama Sunda Kelapa berganti menjadi Jayakarta.

2. Jayakarta

Kejadian ini diperkirakan berlangsung pada 22 Juni 1527. Saat ini, tanggal tersebut diperingati sebagai hari ulang tahun Jakarta.

“Dengan kemenangan itu maka Sunda Kalapa diganti nama menjadi Jayakarta, dan ini diperkirakan terjadi pada tanggal 22 Juni 1527, tanggal yang kini dianggap tanggal kelahiran kota Jakarta,” tulis Surjomihardjo (1977) dikutip dari Edi Sedyawati, dkk (1987) dalam Sejarah Kota Jakarta 1950-1980.

Jayakarta Sedyawati, dkk. mengatakan, nama Jayakarta digunakan selama periode 1527 dan 1619.

Bersama dengan Banten, Jayakarta berkembang menjadi kota perdagangan. Jayakarta menjadi tempat menghimpun hasil bumi dan berbagai produk dagang lainnya dari sejumlah wilayah.

Kemudian, saudagar asing datang dengan kapal mereka untuk membeli produk perdagangan tersebut. Sayangnya, Jayakarta harus beralih ke tangan Belanda pada 1619. Sejak saat itu, nama Jayakarta berubah menjadi Batavia.

3. Stad Batavia

Stad Batavia menandai awal dari pembangunan kolonial Belanda di wilayah yang kini dikenal sebagai Jakarta.

Setelah pendirian Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda pada tahun 1602, Belanda meningkatkan kehadirannya di Hindia Belanda, khususnya di Batavia.

Pembangunan Stad Batavia mencerminkan ambisi Belanda untuk mengontrol perdagangan rempah-rempah dan sumber daya alam lainnya di wilayah tersebut.

Kota ini dibangun dengan citra kota-kota di Belanda, dengan kanal-kanal yang membagi kota menjadi berbagai blok dan dinding pertahanan yang mengelilingi setiap blok.

Stad Batavia menjadi pusat administrasi, perdagangan, dan kekuasaan kolonial Belanda di Hindia Belanda.

Sebagai pusat perdagangan rempah-rempah, Batavia menjadi tempat berkumpulnya pedagang dari berbagai negara, serta pusat pertemuan kapal-kapal dagang dari seluruh dunia.

4. Gemeente Batavia

Pada 1602, Belanda membentuk serikat dagang bernama Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).

Tujuannya adalah mengembangkan monopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia.

Permusuhan Belanda dengan Banten, menyebabkan Belanda memindahkan kantor VOC dari Banten ke Jayakarta.

Pemindahan tersebut diperkirakan terjadi pada 1619.

Sejalan dengan itu, VOC mulai menguasai Jayakarta. Lantas, Belanda mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia.

“Orang Belanda mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia, dan sejak itu dijadikannya pusat kekuasaan Belanda di Indonesia,” tulis Surjomihardjo (1977) dikutip dari Edi Sedyawati, dkk (1987) dalam Sejarah Kota Jakarta 1950-1980.

Sedyawati, dkk. menuturkan, pejabat Belanda yang memerintah saat itu adalah Jan Pieterszoon Coen alias JP. Coen. Dengan wewenangnya, Coen memutuskan bahwa VOC di Batavia menjadi pusat pertemuan kapal-kapal kolonial yang berlayar di Nusantara.

Berdasarkan informasi dari laman Jakarta.go.id Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Pemprov DKI Jakarta, nama Batavia digunakan lebih dari tiga abad. Mulai dari 1619, sumber lain mengatakan 1621, hingga 1942.

Batavia dibangun nyaris menyerupai kota-kota di Belanda, yaitu dalam bentuk blok yang masing-masing dipisahkan oleh kanal.

Setiap blok dilindungi oleh dinding sebagai benteng, serta parit. Selesai dibangun pada 1650, Batavia adalah tempat tinggal bangsa Eropa.

Sementara bangsa Jawa, China, dan penduduk pribumi lainnya dipindahkan ke tempat lain.

Kendaraan melintas di jalan tol di kawasan Cawang, Jakarta Selatan, Sabtu (3/10/2020).

 

5. Stad Gemeente Batavia

Pada masa penjajahan Jepang selama Perang Dunia II, nama Batavia diubah menjadi Djakarta Tokubetsu Shi pada tahun 1942.

Langkah ini terjadi sebagai bagian dari kebijakan de-Nederlandisasi yang diterapkan oleh pemerintah Jepang, yang bertujuan untuk menghapuskan jejak kolonialisme Belanda di wilayah tersebut.

Pergantian nama ini secara simbolis menandai peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, serta upaya untuk menegaskan identitas Jepang dalam wilayah tersebut.

Tanggal perubahan nama ini, 8 Desember 1942, dipilih secara sengaja sebagai bagian dari perayaan Hari Perang Asia Timur Raya, yang merupakan momen penting dalam agenda propaganda Jepang.

Pergantian nama ini menjadi Djakarta Tokubetsu Shi menunjukkan transformasi penting dalam sejarah administrasi kota tersebut, menandai awal periode yang dipengaruhi oleh pemerintahan Jepang.

6. Jakarta Toko Betsu Shi

Setelah Indonesia jatuh ke tangan Jepang pada tahun 1942, pemerintah Jepang mengubah nama Batavia menjadi Djakarta. Nama “Djakarta” adalah singkatan dari Djajakarta.

Perubahan nama ini dilakukan dalam konteks upaya de-Nederlandisasi, di mana Jepang berusaha untuk menghilangkan pengaruh Belanda di wilayah yang mereka kuasai.

Pergantian nama tersebut, yang diresmikan pada tanggal 8 Desember 1942, saat perayaan Hari Perang Asia Timur Raya, menandai awal dari dominasi Jepang atas Jakarta.

Kota tersebut secara resmi dikenal sebagai Jakarta Tokubetsu Shi, menegaskan kedaulatan dan identitas baru di bawah pemerintahan Jepang.

7. Pemerintah Nasional Kota Jakarta

Pada tahun 1945, Indonesia meraih kemerdekaannya dari penjajahan Belanda. Sebagai bagian dari proses ini, Jakarta menjadi pusat politik dan pemerintahan nasional Indonesia yang baru merdeka.

Sebagai respons terhadap peristiwa bersejarah ini, nama resmi yang diberikan kepada pusat pemerintahan Jakarta adalah “Pemerintah Nasional Kota Jakarta”.

Langkah ini menandai titik balik penting dalam sejarah administrasi Indonesia, di mana Jakarta ditingkatkan statusnya sebagai pusat kekuasaan nasional yang mewakili negara yang baru merdeka.

Sebagai ibu kota, Jakarta menjadi tempat berkumpulnya para pemimpin nasional, serta menjadi pusat pengambilan keputusan politik dan administratif yang penting bagi masa depan bangsa.

Nama “Pemerintah Nasional Kota Jakarta” mencerminkan peran penting kota ini dalam mengoordinasikan upaya-upaya nasional untuk membangun negara yang merdeka dan berdaulat.

Selain sebagai pusat politik dan administrasi, Jakarta juga menjadi pusat kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya yang berkembang pesat di bawah kepemimpinan pemerintah nasional.

Oleh karena itu, masa pemerintahan “Pemerintah Nasional Kota Jakarta” adalah periode penting dalam pembentukan identitas dan peran Jakarta sebagai ibu kota Indonesia yang modern dan dinamis.

8. Stad Gemeente Batavia

Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah Hindia Belanda sementara, yang dikenal sebagai NICA (Netherlands Indies Civil Administration), mengembalikan nama kota menjadi Stad Gemeente Batavia pada tanggal 20 Februari 1950.

Hal ini menandai periode transisi antara pemerintahan Hindia Belanda dan pemerintahan Indonesia yang baru merdeka. Meskipun nama kembali ke status quo sebelumnya, perubahan politik yang mendalam terus berlangsung di wilayah tersebut, mencerminkan dinamika sosial dan politik yang terjadi selama masa peralihan kekuasaan.

9. Kota Praja Jakarta

Pada tanggal 28 Maret 1950, tanda penting ditetapkan dalam sejarah administrasi kota ini. Pemerintah Republik Indonesia memutuskan untuk mengganti nama dari “Batavia” menjadi “Kota Praja Jakarta”.

Keputusan ini menandai peralihan dari administrasi kolonial Belanda menuju administrasi Indonesia atas kota tersebut.

Perubahan nama ini memiliki makna simbolis yang kuat, menandakan kedaulatan negara dan identitas baru Jakarta sebagai ibu kota negara yang merdeka.

10. Kota Praja Djakarta Raya

Pada tanggal 18 Januari 1958, Jakarta dinyatakan sebagai daerah swatantra atau otonom, yang ditandai dengan perubahan nama menjadi “Kota Praja Djakarta Raya”. Perubahan ini menunjukkan peran Jakarta sebagai pusat administrasi yang semakin penting dalam konteks politik dan pemerintahan Indonesia.

Nama baru ini mencerminkan perubahan status Jakarta menjadi lebih mandiri dalam mengelola urusan pemerintahan dan administrasi kota.

11.  Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya

Pada tahun 1961, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1961, didirikanlah Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.

Langkah ini menegaskan posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan yang unik dan khusus di Indonesia.

Dengan pembentukan pemerintahan daerah khusus ini, Jakarta memiliki otonomi yang lebih besar dalam mengatur urusan pemerintahan dan pengembangan kota.

12. Jakarta

Pada tahun 1964, Jakarta secara resmi ditetapkan sebagai ibu kota negara Republik Indonesia.

Hal ini menegaskan peran Jakarta sebagai pusat politik, ekonomi, dan budaya negara.

Dengan statusnya sebagai ibu kota negara, Jakarta menjadi pusat penting dalam pengambilan keputusan politik dan pemerintahan nasional.

13. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

Sejak tahun 1999 hingga saat ini, Jakarta dikenal dengan nama resmi Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.

Perubahan ini menunjukkan peran penting provinsi Jakarta dalam mengatur urusan pemerintahan, pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal.

Sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi nasional, DKI Jakarta terus berkembang dan berperan sebagai salah satu jantung Indonesia yang dinamis.