Follow WhatsApp Channel Haijakarta.id
Follow

Farmasi dalam bidang kefarmasian adalah suatu profesi yang fokus, komitmen , dan kompeten tentang obat termasuk pembuatan, pengujian, distribusi, dan penggunaan obat dalam pengobatan penyakit serta pemeliharaan kesehatan.

Secara tradisional, farmasi juga melibatkan seni mempersiapkan dan  menghaluskan obat dan memberikan konsultasi kepada pasien cara menggunakan obat yang benar.

Dengan kata lain, farmasi adalah hubungan antara ilmu pengetahuan tentang obat dan praktik klinis, semuanya bertujuan pada tujuan tertentu, untuk meningkatkant tingkat kesehatan masyarakat (Houghton&Howes, 2024).

Dari pengertian tersebut  menimbulkan istilah profesi, yaitu suatu pekerjaan (occupation) yang memiliki karakter pengetahuan khusus dan didapatkan melalui persiapan akademik.

Profesi apoteker, sesuai dengan rekomendasi WHO secara global, akan disebut sebagai apoteker dan dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Pertama, proses hati dan jiwa selalu mengalami kontraksi dan relaksasi dalam konteks ilmu dispensasi dan peracikan. Proses praformulasi dan formulasi obat terus ditingkatkan untuk mencapai efektivitas yang optimal dengan memanfaatkan keahlian dalam bidang teknologi farmasi, sistem pengantaran obat, biofarmasi dan farmakokinetik, serta farmakoterapi dan farmasi klinis. Di sisi lain, efek samping dikurangi dengan memahami interaksi obat, reaksi negatif obat, toksikologi, sifat aditif, dan fisiologi.

2. Kedua, otak dan pikiran berfungsi sebagai pusat, mencerminkan obat dan dampaknya sebagai manifestasi tanggung jawab di bidang kesehatan serta keterkaitannya dengan perasaan hati dan jiwa.

3. Ketiga, berdasarkan karakter ekspresi jiwa dan roh, peran apoteker melibatkan analisis terkait jaminan mutu, keamanan, dan penggunaan sediaan obat yang tepat dan rasional.

Apotek yang digambarkan sebagai sebuah gedung adalah tempat yang megah dan sangat menarik, berdiri atas empat pilar utama:

farmakologi, kimia farmasi, teknologi farmasi, dan farmakognosi, yang memiliki dasar yang kuat pada ilmu-ilmu alam farmasi.

Selanjutnya, biofarmasi dan farmakokinetik berujung pada farmasi klinis, yang diperkaya dengan disiplin ilmu sosial farmasi seperti manajemen dan administrasi, higiene dan epidemiologi, serta etika (Sudjaswadi, R, 2001).

Berdasarkan hasil Kongres WHO yang berlangsung di New Delhi pada tahun 1988, WHO mengakui kemampuan tersebut dan pada tahun 1990 merekomendasikan agar apoteker diberdayakan untuk melaksanakan tugas-tugas berikut:

1. Pertama, memahami prinsip-prinsip sistem manajemen penjaminan mutu obat-obatan agar bisa menjalankan peran yang bertanggung jawab dan melakukan pengawasan.

2. Mengelola masalah distribusi farmasi (dan pemantauannya) serta mengerti prinsip-prinsip penyediaan.

3. Mengetahui dan memahami struktur harga dari obat-obatan (sediaan obat).

4. Mengelola informasi mengenai obat dan bersedia memberikan layanan terkait informasi.

5. Mampu memberikan rekomendasi informasi kepada pasien mengenai penyakit ringan, dan seringkali juga untuk penyakit kronis dengan tatalaksana yang jelas.

6. Mampu menjaga hubungan yang baik antara fungsi pelayanan medis dan farmasi (WHO, 1998).

Ruang Lingkup Farmasi

Jenjang awal pendidikan farmasi di Indonesia adalah Sekolah Menengah Kejuruan Farmasi. Sejak mula perkembangan farmasi di negara ini, pendidikan farmasi tingkat menengah (Sekolah Asisten Apoteker) telah memiliki peranan yang signifikan, terutama dalam periode peralihan menuju tenaga ahli farmasi yang berstandar tinggi.

Pada masa peralihan itu, hingga diterapkannya PP 25 tahun 1980, pendirian apotek darurat, yang dikelola oleh asisten apoteker berpengalaman, masih diperbolehkan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1980). Tenaga menengah farmasi ini masih sangat diperlukan dan berperanan, khususnya pada Farmasi Komunitas, baik di Apotik maupun di Rumah Sakit.

Dengan bertambahnya tenaga farmasi berpendidikan tinggi, peranan ini akan semakin kecil, Ada rencana untuk mengembangkan pendidikan SMK ini ke level akademik (lulusan SMA). Mulai tahun 2000, pendidikan dari sekolah menengah ini dihentikan dan ditingkatkan menjadi Akademi Farmasi.

Tingkat kedua adalah Diploma Farmasi. Sejak 1991, Kementerian Kesehatan telah mengadakan pelatihan untuk tenaga farmasi tingkat menengah melalui program Diploma III (D-III), yang disebut Program Analis Farmasi.

Kebutuhan akan tenaga ini timbul seiring dengan kemajuan dalam layanan kesehatan yang memerlukan keahlian yang lebih baik, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, ditambah dengan beragam keterampilan profesional yang meningkat.

Sasaran utama dari program ini adalah untuk mencetak profesional farmasi yang dapat memberikan kontribusi dalam bidang produk berkualitas.

Lulusan dari program Analis Farmasi diharapkan untuk: Melakukan analisis farmasi di laboratorium untuk beragam produk, termasuk farmasi, obat tradisional, kosmetik, makanan, bahan berbahaya, dan alat kesehatan, di sektor farmasi, apotek rumah sakit, fasilitas pengendalian mutu farmasi dan pangan, serta laboratorium serupa di sektor publik dan swasta.

Tanggung jawab mereka mencakup melakukan analisis, pengendalian mutu, serta mengembangkan metode analisis, dan berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan penelitian di bidang analisis farmasi.

Selain program sarjana, juga terdapat program pendidikan tinggi di bidang farmasi. Berdasarkan Undang-Undang No. 12/2012, pendidikan tinggi meliputi pendidikan akademis, pelatihan, dan pendidikan berkelanjutan.sehingga perlu studi menjadi landasan untuk memperoleh kompetensi lulusan dari universitas; menetapkan standar kualitas minimal bagi penyelenggaraan program studi; dapat diberlakukan secara nasional dan internasional; bersifat fleksibel dan responsif terhadap perubahan yang cepat di masa mendatang; serta disepakati oleh institusi pendidikan tinggi, universitas, dan perguruan tinggi.

Program Pendidikan Profesi Apoteker adalah program pendidikan tinggi yang mencakup gelar Sarjana Farmasi dan Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker.

Program ini diselenggarakan oleh institusi pendidikan farmasi yang berlandaskan pada budaya Indonesia untuk menghasilkan apoteker yang memiliki kemampuan, keahlian, dan sikap profesional, sesuai dengan standar serta etika profesi, dan tetap mengikuti perkembangan dalam ilmu serta praktik di bidang kefarmasian (Kemendikbud, 2020).

Salah satu syarat untuk menyelenggarakan program pendidikan apoteker, berdasarkan Surat Keputusan Bersama Ikatan Apoteker Indonesia dan Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia No. 117/PP. IAI/1418/XI/2017 dan No. 29/XI/SK/APTFI/2017, adalah akreditasi program Sarjana Farmasi dengan minimal nilai B (Hidayati, A. R. dkk. , 2022).

Prospek Lulusan Pendidikan Tinggi Farmasi

1. Industri obat juga terlibat dalam pemasaran produk, penelitian dan pengembangan, pengendalian kualitas, produksi, serta manajemen atau administrasi.

Tugas perwakilan layanan medis atau detailman, yang memiliki tanggung jawab untuk memperkenalkan produk dari industri obat serta berinteraksi langsung dengan dokter dan apoteker, juga bisa dijalankan oleh apoteker atau profesional lainnya.

Peningkatan karier di posisi ini dapat membuka jalan menuju posisi kepala pemasaran produk dan direktur pemasaran di perusahaan obat. Apoteker juga diperlukan dalam departemen produksi dan pengendalian kualitas dalam industri ini.

Industri farmasi adalah lembaga atau bisnis di bidang kesehatan yang bergerak dalam produksi obat-obatan atau sediaan farmasi secara besar-besaran dan resmi. Teknologi farmasi saat ini berkembang pesat, sehingga memungkinkan industri ini untuk memproduksi berbagai tipe obat dengan kualitas yang lebih baik (Mardikasari dkk., 2020). (Sari dkk., 2020).

2. Bidang farmasi di rumah sakit meliputi peran kefarmasian baik di rumah sakit negeri maupun swasta. Peran kefarmasian ini, yang telah berkembang pesat di negara-negara maju, juga mulai diterapkan di Indonesia melalui pelaksanaan Program Spesialisasi Farmasi Rumah Sakit (Depkes RI, 2001).

Diperkirakan kebutuhan apoteker di rumah sakit akan semakin meningkat di masa mendatang karena tiga alasan berikut:

  • Peningkatan permintaan untuk layanan rumah sakit yang lebih baik.
  • Tanggung jawab apoteker di rumah sakit akan semakin meluas dalam berbagai aspek terkait pengelolaan dan pengawasan obat.
  • Pertumbuhan jumlah penduduk.

3. Kementerian Kesehatan adalah lembaga pemerintah dengan jumlah pegawai apoteker terbanyak, terutama di Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (DitJen POM), serta di Balai Pengawasan Obat dan Makanan (PPOM) dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (Balai POM) di berbagai daerah.

Hal ini juga berlaku untuk setiap Balai Pengawas Obat dan Makanan dalam setiap area Kementerian Kesehatan (yang kini sudah dibubarkan dan hanya menyisakan kantin provinsi), termasuk di kantor-kantor kesehatan di tingkat daerah serta di industri farmasi.

Tugas utama apoteker di institusi pemerintah mencakup manajemen administratif, pemeriksaan, konsultasi, dan pengawasan. Sejak tahun 2001, terjadi perubahan dalam struktur, di mana Direktorat Jenderal POM tidak lagi di bawah Departemen Kesehatan, tetapi berubah menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia (Depkes RI, 2001).

Struktur pusat POM di tingkat daerah, baik yang besar maupun kecil, juga melapor langsung kepada Badan POM, bukan kepada dinas kesehatan provinsi.

Kementerian HANKAM juga memerlukan apoteker, terutama dalam hal logistik dan distribusi obat serta perangkat medis. Dalam pengawasan obat dan makanan, apotek bertanggung jawab atas pengelolaan beragam jenis obat, termasuk obat tradisional, herbal, dan obat modern yang berasal dari bahan alami maupun kimia. Dalam bidang farmasi ini, para ahli melakukan penelitian untuk menilai keamanan makanan dan obat-obatan.

4. Penyediaan dan pengawasan obat-obatan terlarang serta psikotropika. Hanya apotek, rumah sakit, puskesmas, tempat pengobatan, dan dokter yang diperbolehkan untuk memberikan obat terlarang.

Apotek hanya bisa menyuplai obat terlarang kepada rumah sakit, puskesmas, apotek lainnya, panti jompo, dokter, dan pasien. Rumah sakit, apotek, puskesmas, serta tempat pengobatan hanya boleh memberikan obat kepada pasien dengan dasar resep dari dokter (Undang-Undang Republik Indonesia, 2009). Dokter dapat meresepkan obat terlarang dengan syarat sebagai berikut:

  • sebagai bagian dari pelayanan medis melalui metode suntikan.
  • untuk memberikan bantuan kepada pasien dalam situasi darurat dengan memberikan suntikan
  • untuk pelaksanaan pembedahan di lokasi terpencil yang tidak memiliki apotek.
  • di lokasi publik

5. Di sektor pendidikan, apoteker yang bekerja di universitas diharuskan untuk melakukan penelitian di bidang kefarmasian yang sesuai dengan prinsip Tridarma Perguruan Tinggi (TKPP).

Beberapa lembaga penelitian pemerintah yang mempekerjakan apoteker termasuk LIPI dan lembaga lainnya. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh lembaga swasta, khususnya di sektor medis, masih tergolong sangat terbatas.

Belakangan ini, ketertarikan sektor industri terhadap penelitian semakin tumbuh, terutama yang berkaitan dengan pengembangan tanaman obat menjadi obat.

Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah produk fitofarmaka yang tersedia untuk masyarakat. Temuan dari penelitian ini juga merupakan kolaborasi antara institusi pendidikan farmasi dan industri farmasi (Depkes RI, 2001).

Daftar Pustaka

Angayomi, H. (2023). Farmasi, Medis, dan Kesehatan. Nuansa Cendekia.

Hidayati, A. R. Et Al.(2022).Studi Kelayakan Pendirian Program Studi Profesi Apoteker Di Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Sosial Ekonomi Dan Humaniora8, 64–67 .

Houghton, P. J., & Howes, M. J. (2024). Pharmacognosy: Phytochemistry, medicinal plants (4th ed.). Elsevier.

Kemendikbud. (2020). Rancangan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor … Tahun 2020 Tentang Standar Pendidikan Apoteker Indonesia Dengan.

Lestari, K. E., Utami, M. R. & Yudhanegara, M. R. (2021).Evaluasi Penyelenggaraan Pendidikan Di Perguruan Tinggi: Relevansi Bidang Pekerjaan Dengan Program Studi. Judika (Jurnak Pendidikan Unsika9, 149–162.

Mardikasari, S. A., Suryani, Akib, N. I., & Indahyani, R. (2020). Mikroenkapsulasi Asam Mefenamat  Menggunakan Polimer Kitosan dan Natrium Alginat dengan Metode Gelasi Ionik: Jurnal Farmasi Galenika (Galenika Journal of Pharmacy) (e-Journal), 6(2).

Olivia, Z., Cahyani, A. N., Veranita, A., Pratiwi, P. D., Pebritrinasari, R., Emelia, R., … & Wahyuningsih, S. (2024). Pengantar Dasar Farmasi. Sada Kurnia Pustaka.

Pahlevi, M. R., Febrianti, D. R., Intannia, D., Ramadhani, S., & Muthaharah, M. (2025). EVALUASI ARAH KOMPETENSI LULUSAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER PADA PENDIDIKAN TINGGI FARMASI DI KALIMANTAN SELATAN, INDONESIA. Jurnal Insan Farmasi Indonesia8(1), 58-68.

Sari, D. P., Rahayu, A., & Suryagama, D. (2020). Relationship between Behavior of Traditional Medicines Usage and Health-Related Quality of Life in Surabaya Community in 2019. Health Notions, 4(2), 37–42.

Sudjaswadi, R. (2001). Farmasi, Farmasis, dan Farmasi Sosial. Medika, (3), 128-131.

World Health Organization. (1988). Quality control methods for medicinal plant materials. WHO Regional Office for South-East Asia.

Xing, L., Sun, J., Tan, H., Yuan, G., Li, J., Jia, Y., Xiong, D., Chen, G., Lai, J., Ling, Z., Chen, Y., & Niu, X. (2019). Covalently polysaccharide-based alginate/chitosan hydrogel embedded alginate microspheres for BSA encapsulation and soft tissue engineering. International Journal of Biological Macromolecules, 127, 340–348.

Zou, X., Zhang, H., Chen, T., Li, H., Meng, C., Xia, Y., & Guo, J. (2019). Preparation and characterization of polyacrylamide / sodium alginate microspheres and its adsorption of MB dye. Colloids and Surfaces A: Physicochemical and Engineering Aspects, 567, 184–192.