sosmed-whatsapp-green Follow WhatsApp Channel Haijakarta.id
Follow

HAIJAKARTA.ID – Satria juga menyoroti dampak impunitas yang semakin meluas bagi anggota TNI.

Menurutnya, aturan ini dapat membuka celah bagi tindakan sewenang-wenang tanpa konsekuensi yang jelas.

Situasi ini berpotensi membahayakan kebebasan sipil, termasuk hak masyarakat untuk menyuarakan pendapat dan kritik terhadap pemerintah.

Alasan Pentingnya Revisi UU RUU TNI

1. Ancaman terhadap Independensi Peradilan

Revisi UU TNI dinilai memperkuat impunitas anggota TNI dan mengembalikan peran sosial-politik serta ekonomi-bisnis seperti di era Orde Baru.

Hal ini bertentangan dengan prinsip negara hukum.

2. Bertentangan dengan Instrumen HAM Internasional

UU TNI yang baru tidak sejalan dengan rekomendasi CCPR, UPR, serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT).

Indonesia, sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi HAM internasional, seharusnya menjamin akuntabilitas militer.

3. Meningkatkan Risiko Penyalahgunaan Kekuasaan

Impunitas bagi anggota TNI berpotensi melanggengkan tindakan sewenang-wenang yang dapat membungkam kebebasan sipil dan demokrasi.

4. Kembalinya Dwifungsi TNI

Pengangkatan prajurit aktif di jabatan sipil berpotensi mengancam supremasi sipil dan meningkatkan intervensi militer dalam urusan politik negara.

5. Pembatasan Kebebasan Akademik

Dampak lain dari revisi UU ini adalah meningkatnya represi terhadap kebebasan akademik, termasuk pelarangan buku, pembubaran diskusi, dan tindakan represif lainnya.

6. Prosedur Pembentukan UU yang Bermasalah

Proses revisi dilakukan secara tertutup, termasuk rapat di Hotel Fairmont yang dikawal ketat oleh Kopassus, menunjukkan minimnya transparansi dan partisipasi publik.

Dampak terhadap Kebebasan Akademik dan Masyarakat Sipil

KIKA juga menyoroti bagaimana revisi UU TNI dapat berdampak negatif terhadap kebebasan akademik di Indonesia.

Satria menyebutkan berbagai kasus seperti sweeping buku-buku kiri, pembubaran diskusi mengenai Papua dan keamanan nasional, serta tindakan represi lainnya sebagai bukti bahwa kebebasan akademik semakin terancam.

“Jika undang-undang ini diterapkan, kondisi kebebasan akademik akan semakin memburuk. Ini akan mempersempit ruang diskusi kritis dan membatasi perkembangan ilmu pengetahuan yang bebas dari tekanan politik,” tambahnya.

Proses Legislasi yang Tidak Transparan

KIKA juga menilai bahwa proses revisi UU TNI tidak memenuhi prinsip partisipasi publik yang bermakna. Rapat pembahasan yang dilakukan secara tertutup di hotel dengan penjagaan ketat dari Kopassus menunjukkan kurangnya transparansi dalam pembentukan undang-undang ini.

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi harus diakomodasi. Namun, dalam revisi UU TNI, prinsip ini dinilai telah dilanggar, sehingga proses pembentukannya disebut sebagai “kejahatan legislasi” oleh para akademisi.

Masyarakat Sipil Menuntut Pembatalan UU TNI

Berdasarkan berbagai alasan tersebut, KIKA bersama asosiasi akademisi lainnya, seperti CALS, KIKA, UII, SPK, LSJ, dan Pandeka FH UGM, mendesak pemerintah untuk membatalkan revisi UU TNI.

Mereka menilai bahwa undang-undang ini bertentangan dengan prinsip demokrasi, supremasi sipil, serta komitmen Indonesia terhadap standar HAM internasional.

“Kami menolak bangkitnya dwi fungsi ABRI melalui pengisian jabatan sipil oleh TNI aktif. Ini hanya akan semakin memperkuat impunitas militer dalam birokrasi sipil dan bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang transparan, akuntabel, serta partisipatif,” pungkas Satria.

Isi Revisi RUU TNI 2025

Dalam rapat Panitia Kerja (Panja) Revisi UU TNI yang berlangsung di Hotel Fairmont, Jakarta, pada 14-15 Maret 2025, disepakati bahwa Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) menjadi lembaga tambahan yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif.

Sebelumnya, hanya 10 institusi yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif:

  1. Kantor Bidang Koordinator Politik dan Keamanan Negara
  2. Pertahanan Negara
  3. Sekretaris Militer Presiden
  4. Intelijen Negara
  5. Sandi Negara
  6. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)
  7. Dewan Pertahanan Nasional
  8. Search and Rescue (SAR) Nasional
  9. Badan Narkotika Nasional
  10. Mahkamah Agung

Dengan revisi ini, enam institusi tambahan yang dapat ditempati oleh prajurit TNI aktif adalah:

  1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
  2. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
  3. Keamanan Laut
  4. Kejaksaan Agung
  5. Kementerian Kelautan dan Perikanan
  6. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)

Implikasi Revisi UU TNI

1. Perluasan Peran Militer dalam Pemerintahan

Penempatan prajurit TNI aktif di lebih banyak lembaga sipil meningkatkan keterlibatan militer dalam pengelolaan negara.

2. Kekhawatiran Kembalinya Dwifungsi ABRI

Para pengamat menilai revisi ini sebagai langkah mundur yang membuka kembali peran militer dalam birokrasi sipil.

3. Penguatan Pengawasan Publik Diperlukan

Transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas TNI harus diperketat agar tidak melampaui batas kewenangannya.

4. Dinamika Politik dan Keamanan

Perubahan ini mencerminkan meningkatnya ancaman keamanan di sektor maritim, bencana alam, dan terorisme, namun tetap memicu kekhawatiran akan dominasi militer dalam pemerintahan.