sosmed-whatsapp-green Follow WhatsApp Channel Haijakarta.id
Follow

HAIJAKARTA.ID – Kumpulan contoh studi kasus penilaian PPG 2025.

Pendidikan Profesi Guru (PPG) merupakan program pendidikan yang digelar usai program sarjana atau sarjana terapan bagi calon guru atau guru untuk mendapatkan sertifikat pendidik.

Salah satu tahapan pada uji kompetensi PPG, yakni membuat sebuah studi kasus.

Contoh-contoh studi kasus ini bisa menjadi referensi untuk guru, baik SD, SMP, dan SMA saat mengikuti Uji Kompetensi Peserta PPG (UKPPPG).

Saat ini UKPPPG tengah berjalan, bapak/ibu guru peserta PPG bagi Guru Tertentu Tahun 2025 tahap 2 akan diminta untuk membuat studi kasus sebanyak minimal 350 kata dan maksimal 600 kata dengan empat pilihan masalah, salah satunya masalah penilaian.

Masalah penilaian biasanya berkaitan dengan instrumen yang kurang bervariasi, penilaian hanya berfokus pada hasil akhir (ujian tertulis), atau guru kesulitan menilai keterampilan serta sikap siswa secara objektif.

Akibatnya, hasil penilaian belum sepenuhnya mencerminkan proses belajar siswa.

Contoh Studi Kasus Penilaian PPG 2025

Studi kasus PPG 2025 masalah Penilaian harus berdasarkan pengalaman bapak/ibu guru selama mengajar di kelas dengan menjawab empat pertanyaan utama, yakni:

1. Deskripsikan bentuk penilaian yang Bapak/Ibu lakukan sesuai dengan kondisi siswa dan tujuan pembelajaran

2. Bagaimana merancang penilaian agar sesuai dengan tujuan pembelajaran dan kondisi siswa?

3. Bagaimana respons peserta didik terhadap bentuk penilaian yang dilakukan?

4. Apa pengalaman berharga yang bisa dipetik?

Berikut kumpulan contoh studi kasus penilaian PPG 2025 untuk referensi guru SD, SMP, dan SMA.

A. Contoh Studi Kasus Penilaian PPG 2025

1. Deskripsikan strategi pembelajaran yang digunakan sesuai dengan kondisi siswa dan tujuan pembelajaran:

Strategi pembelajaran yang saya gunakan disesuaikan dengan karakteristik siswa kelas 5 yang cenderung aktif, suka berinteraksi, dan senang belajar sambil bermain. Untuk materi pengukuran volume kubus dan balok, saya menggunakan strategi “problem based learning” (PBL) yang dikombinasikan dengan pendekatan kontekstual.

Siswa diajak untuk memecahkan masalah sederhana yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, misalnya menghitung volume kotak makanan atau kolam kecil di sekitar rumah. Strategi ini memungkinkan siswa membangun pemahaman sendiri melalui eksplorasi, diskusi kelompok, dan presentasi hasil kerja.

2. Bagaimana merancang strategi pembelajaran sesuai dengan tujuan dan kondisi siswa?

Saya memulai dengan menganalisis Tujuan Pembelajaran dan CP (Capaian Pembelajaran), lalu saya telaah kondisi siswa berdasarkan hasil observasi dan asesmen diagnostik. Strategi dirancang bertahap: dari tahap eksplorasi masalah, diskusi kelompok kecil, pemaparan ide, hingga refleksi bersama.

Siswa dikelompokkan secara heterogen agar bisa saling melengkapi dan memantik diskusi yang bermakna. Saya juga menyiapkan alat peraga sederhana dan lembar kerja pendukung agar siswa lebih mudah memahami konsep yang dibahas.

3. Bagaimana respon peserta didik terhadap strategi yang digunakan?

Respons siswa sangat positif. Mereka terlihat lebih aktif, antusias, dan lebih mudah memahami materi karena merasa terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Beberapa siswa yang biasanya pasif mulai berani bertanya dan menyampaikan pendapat saat diskusi kelompok. Suasana kelas juga menjadi lebih hidup dan menyenangkan karena pembelajaran tidak hanya berpusat pada guru, tetapi melibatkan siswa secara aktif.

4. Apa pengalaman berharga yang dipetik?

Pengalaman berharga yang saya dapatkan adalah bahwa strategi membelajaran yang tepat dapat menghidupkan kelas dan meningkatkan keterlibatan siswa secara signifikan. Saya menyadari pentingnya merancang strategi tidak hanya berdasarkan materi, tapi juga berdasarkan kondisi nyata siswa di kelas. Selain itu, melalui strategi pembelajaran yang interaktif dan kolaboratif, saya bisa membangun suasana belajar yang positif dan bermakna, serta menumbuhkan rasa percaya diri siswa dalam belajar Matematika.

B. A. Contoh Studi Kasus Penilaian PPG 2025

1. Deskripsikan bentuk penilaian yang Bapak/Ibu lakukan sesuai dengan kondisi siswa dan tujuan pembelajaran.

Sebagai guru kelas 2 SD, saya melaksanakan penilaian untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia pada materi “Menuliskan Kalimat Sederhana dari Gambar”. Penilaian dilakukan secara tertulis melalui lembar kerja yang meminta siswa menuliskan kalimat berdasarkan gambar aktivitas sehari-hari. Bentuk penilaian ini disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, yaitu agar siswa mampu menyusun kalimat sederhana secara runtut dan bermakna.

Saya juga menambahkan penilaian lisan sebagai pelengkap, terutama bagi siswa yang mengalami kesulitan menulis, sehingga mereka tetap dapat menunjukkan pemahaman melalui penyampaian verbal. Penilaian dilakukan secara individual dan dikaitkan dengan konteks yang akrab bagi siswa, seperti kegiatan di rumah atau sekolah.

2. Bagaimana merancang penilaian agar sesuai dengan tujuan pembelajaran dan kondisi siswa?

Dalam merancang penilaian, saya terlebih dahulu menurunkan indikator dari tujuan pembelajaran, yaitu siswa mampu menyusun kalimat sederhana berdasarkan gambar. Karena siswa kelas 2 masih berada dalam tahap awal perkembangan literasi, saya memilih gambar yang jelas dan familier sebagai stimulus untuk menghindari kebingungan.

Penilaian disusun dengan tingkat kesulitan bertahap, dimulai dari menyebutkan benda dalam gambar, menuliskan kata, hingga menyusun kalimat. Saya juga mempertimbangkan keterbatasan beberapa siswa dalam menulis, sehingga menyediakan alternatif penilaian melalui diskusi atau wawancara lisan. Rubrik penilaian saya buat secara sederhana, meliputi aspek keterbacaan tulisan, struktur kalimat, dan kesesuaian isi dengan gambar.

3. Bagaimana respons peserta didik terhadap bentuk penilaian yang dilakukan?

Respons peserta didik terhadap penilaian cukup beragam. Siswa yang memiliki kemampuan menulis yang baik terlihat antusias dan dapat menyelesaikan tugas dengan mandiri. Namun, beberapa siswa mengalami kesulitan dalam menuliskan kalimat meskipun sudah memahami gambar.

Mereka tampak ragu-ragu dan sering bertanya mengenai ejaan atau urutan kata. Saat diberikan kesempatan menjelaskan secara lisan, mereka justru mampu menjawab dengan percaya diri.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pemahaman siswa cukup baik, keterampilan menulis mereka masih terbatas dan dapat memengaruhi hasil penilaian jika tidak diakomodasi dengan pendekatan yang sesuai.

4. Apa pengalaman berharga yang bisa dipetik?

Dari pengalaman ini, saya memahami bahwa penilaian di kelas rendah tidak hanya menilai hasil akhir, tetapi juga harus mempertimbangkan proses dan pendekatan yang sesuai dengan kemampuan perkembangan siswa. Penilaian tertulis tidak selalu mencerminkan pemahaman siswa secara utuh, terutama jika keterampilan menulis mereka belum berkembang optimal.

Saya belajar pentingnya menyediakan bentuk penilaian yang bervariasi, seperti penilaian lisan, praktik langsung, dan observasi, untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang kemampuan siswa. Selain itu, rubrik yang jelas dan terstruktur sangat membantu dalam memberikan penilaian yang objektif. Ke depan, saya akan lebih banyak menerapkan penilaian otentik yang menempatkan siswa dalam situasi nyata, serta memperkuat asesmen formatif sebagai bagian dari proses pembelajaran yang berkelanjutan.

C. Contoh Studi Kasus Penilaian PPG 2025

1. Deskripsikan penilaian yang digunakan sesuai dengan kondisi siswa dan tujuan pembelajaran.

Penilaian yang saya gunakan bersifat autentik dan disesuaikan dengan tujuan pembelajaran serta kebutuhan siswa. Untuk materi pengukuran volume kubus dan balok, saya menggunakan kombinasi antara penilaian kognitif, praktik, dan projek sederhana.

Selain soal uraian, siswa juga saya minta untuk membuat model bangun ruang menggunakan kertas karton dan menghitung volumenya secara langsung. Penilaian ini saya pilih agar bisa melihat pemahaman konseptual sekaligus keterampilan praktis siswa secara utuh.

2. Bagaimana merancang penilaian sesuai dengan tujuan pembelajaran dan kondisi siswa?

Saya mulai dengan menyusun indikator pencapaian kompetensi yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Kemudian saya merancang instrumen penilaian yang beragam: soal tertulis untuk mengukur penguasaan konsep, lembar observasi untuk menilai keterlibatan saat praktik, dan rubrik untuk menilai hasil karya projek.

Saya juga menyesuaikan bahasa soal dengan tingkat pemahaman siswa dan menyediakan waktu tambahan bagi siswa yang membutuhkan. Penilaian ini dibuat agar adil, inklusif, dan menggambarkan kemampuan siswa secara menyeluruh tidak hanya dari angka, tetapi dari proses berpikir dan kreativitas mereka.

3. Bagaimana respons peserta didik terhadap penilaian yang digunakan?

Respons siswa cukup positif. Mereka lebih menikmati saat penilaian dilakukan dalam bentuk praktik atau projek dibanding hanya mengerjakan soal tertulis.

Beberapa siswa bahkan merasa tertantang dan termotivasi untuk membuat bangun ruang mereka sebaik mungkin. Penilaian yang bervariasi juga membuat siswa yang biasanya pasif jadi lebih percaya diri karena mereka bisa menunjukkan pemahamannya dengan cara yang lebih fleksibel.

4. Apa pengalaman berharga yang dipetik?

Pengalaman berharga yang saya dapatkan adalah bahwa penilaian yang dirancang dengan memperhatikan kebutuhan dan keberagaman siswa mampu meningkatkan semangat dan keaktifan belajar. Saya menyadari bahwa penilaian tidak boleh hanya berfokus pada hasil akhir, tetapi juga harus mencerminkan proses dan perkembangan siswa. Melalui penilaian autentik, saya juga bisa memperoleh gambaran lebih utuh tentang kekuatan dan tantangan yang dimiliki siswa, sehingga bisa menyusun tindak lanjut pembelajaran yang lebih tepat sasaran.