Mengapa Sumatera Dilanda Banjir Bandang? Ini Penjelasan Pakar Geologi dan Iklim
HAIJAKARTA.ID – Gelombang air dan material dari hulu Sumatera pada pekan lalu kembali mengingatkan bahwa pulau ini menyimpan sejarah panjang soal bencana.
Arus deras yang menghantam permukiman membawa kayu, lumpur, dan bongkahan tanah yang selama bertahun-tahun menumpuk di lereng curam Bukit Barisan.
Meski terlihat datang tiba-tiba, kejadian ini sesungguhnya merupakan hasil dari proses panjang, mulai dari kondisi geologi, perubahan iklim, hingga degradasi lingkungan yang berlangsung bertahun-tahun.
Mengapa Sumatera Dilanda Banjir Bandang?
Dalam diskusi Pojok Bulaksumur, Kamis (4/12/2025), Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, dosen dan peneliti Fakultas Kehutanan UGM, menjelaskan bahwa bentuk bentang alam Sumatera membuat kawasan ini memang sangat rawan banjir besar ketika hujan turun.
Lereng terjal dari Aceh sampai Lampung mengalirkan air dengan cepat ke dataran rendah, sementara area kipas vulkanik yang kini banyak dihuni warga, menjadi jalur alami aliran air dan material.
“Dengan pola seperti itu, hujan deras pasti membawa material dalam jumlah besar dan kecepatan tinggi,” ujarnya, dikutip dari RRI.
Hatma menegaskan, banjir bandang yang menyeret kayu dan sedimen tak bisa dilepaskan dari kondisi ekologis yang terus menurun.
Pembukaan lahan di hulu, permukiman yang semakin naik ke dataran tinggi, serta alih fungsi hutan membuat limpasan air meningkat.
Saat hutan hilang, kemampuan tanah menahan air ikut hilang. Debit puncak tak lagi bisa dikendalikan.
“Para pihak yang menjadi kontributor dosa ekologis itu sudah saatnya berhenti,” kata Hatma tegas.
Ia menjelaskan, secara alami hutan mampu menyerap dan menahan banyak air hujan.
Dalam kondisi ideal, sepertiga air tertahan di daun dan tajuk pohon, sementara lebih dari separuh meresap ke tanah sebelum mengalir ke permukaan.
Jika tutupan hutan berkurang, seluruh volume air bergerak serempak menuju sungai dan mempercepat banjir.
“Neraca airnya pasti berubah dan debit puncaknya meningkat drastis,” ujarnya.
Sementara itu, Mantan Kepala BMKG, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, menyampaikan bahwa perubahan iklim memperbesar risiko yang sejak awal sudah tinggi.
Kenaikan suhu global 1,55°C membuat kejadian hujan ekstrem makin sering. Bila tidak ditekan, peningkatan suhu dapat mencapai 3,5°C pada akhir abad.
Dengan curah hujan ratusan milimeter per hari, sistem hidrologi Sumatera tak lagi mampu menahan laju air.
“Kalau mitigasi ekologinya dilewatkan, kita bisa musnah,” kata Dwikorita.
Ia juga menjelaskan bahwa geologi Sumatera sangat labil.
Batuan yang terbentuk dari tumbukan lempeng naik dari dasar laut dalam kondisi retak-retak, sehingga mudah longsor saat diguncang gempa kecil.
Longsoran itu bisa menyumbat aliran sungai dan menciptakan bendungan alami yang sewaktu-waktu dapat jebol.
“Retakan-retakan itu membuat wilayah ini sangat rentan terhadap gerakan tanah,” ujarnya.
Masalah semakin rumit karena anomali siklon tropis yang makin sering terjadi.
Siklon yang biasanya tidak masuk zona tropis kini justru tumbuh di wilayah Indonesia, bahkan melintasi daratan sambil membawa hujan lebat berhari-hari.
Fenomena ini bukan hanya meningkatkan risiko banjir bandang, tetapi juga memperpendek periode ulang bencana yang dulu bisa puluhan tahun sekali.
“Siklonnya tidak lagi patuh pada jalurnya, dan ini anomali yang semakin sering muncul,” tambah Dwikorita.
Ia menuturkan, anomali tahun ini bukan kejadian tunggal, melainkan rangkaian pola yang sudah terlihat sejak munculnya Siklon Seroja dan Cempaka beberapa tahun lalu.
Siklon-siklon itu mulai menunjukkan perilaku tak lazim, termasuk melintasi daratan dan bertahan lama di wilayah tropis yang seharusnya menjadi zona penghalau.
Siklon Senyar mempertegas pola tersebut. Ia tumbuh di area yang biasanya tidak memungkinkan, kemudian bergerak menyeberangi daratan hingga mencapai Semenanjung Malaya.
“Ini anomali yang mengindikasikan perubahan iklim semakin mempengaruhi dinamika siklon di kawasan Indonesia,” ujarnya.
