Follow WhatsApp Channel Haijakarta.id
Follow

HAIJAKARTA.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) kedepannya akan memperketat ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) melalui putusan perkara nomor 168/PUU-XXI/2023.

Melalui putusan tersebut, MK mengubah 21 pasal dalam UU Ciptaker yang mengatur prosedur PHK guna memberikan kepastian hukum yang lebih kuat bagi pekerja dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Perubahan ini berawal dari gugatan Partai Buruh.

MK Resmi Bakal Perketat Aturan PHK dalam UU Cipta Kerja

Berdasarkan adanya gugatan yang disampaikan Partai Buruh dan beberapa pihak lainnya yang menilai bahwa ketentuan dalam UU Ciptaker, khususnya Pasal 81 angka 40, mengandung ketidakpastian hukum dan membuka potensi kesewenang-wenangan dalam proses PHK.

Mereka menyoroti Pasal 151 ayat (4) dan Pasal 157A ayat (3) dalam UU Ciptaker yang dianggap tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja yang mengalami PHK.

Menurut Partai Buruh, pasal tersebut harus direvisi agar setiap keputusan PHK melewati mekanisme yang jelas dan memberikan hak pekerja untuk mendapatkan kepastian dalam setiap proses perselisihan.

Isi Pasal UU Ciptaker yang Digugat

Isi Pasal 151 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 yang digugat berbunyi:

“Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.”

Adapun Pasal 157A ayat (3) dalam Pasal 81 angka 49 menyatakan:

“Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sesuai tingkatannya.”

Putusan MK atas Perubahan UU Cipta Kerja

Menanggapi gugatan tersebut, MK memutuskan untuk mempertegas mekanisme PHK dalam UU Ciptaker dengan mengubah frasa dalam pasal-pasal tersebut. Berikut adalah putusan MK yang mengubah ketentuan terkait PHK:

Perubahan Pasal 151 ayat (4)

MK menyatakan bahwa frasa “pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial” dalam Pasal 151 ayat (4) dianggap bertentangan dengan UUD 1945. MK menegaskan bahwa PHK hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Perubahan Pasal 157A ayat (3)

MK menyatakan frasa “dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya” dalam Pasal 157A ayat (3) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Menurut MK, pelaksanaan kewajiban harus dilakukan “sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI.”

Dampak Putusan MK terhadap Proses PHK

Putusan MK ini diharapkan dapat melindungi hak-hak pekerja dengan memastikan bahwa setiap keputusan PHK hanya sah setelah melalui putusan lembaga penyelesaian perselisihan yang berkekuatan hukum tetap.

Keputusan ini mempertegas mekanisme perlindungan hukum bagi pekerja yang mengalami perselisihan di tempat kerja, khususnya dalam hal PHK, dan diharapkan mengurangi potensi penyalahgunaan atau kesewenang-wenangan dalam proses tersebut.