Follow WhatsApp Channel Haijakarta.id
Follow

HAIJAKARTA.ID – Para peneliti dari Universitas Cambridge dan Universitas Johannes Gutenberg Mainz telah menemukan bahwa musim panas 2023 merupakan yang terpanas di Belahan Bumi Utara dalam 2.000 tahun terakhir.

Suhu musim panas 2023 tercatat hampir 4 derajat Celcius lebih hangat dibandingkan periode yang sama dalam dua milenium terakhir.

Temuan ini didapat setelah para peneliti menganalisis informasi iklim masa lalu yang diperoleh dari lingkaran pohon di berbagai wilayah di Belahan Bumi Utara.

Lingkaran pohon tersebut menyimpan informasi mengenai suhu musim panas setiap tahunnya, memungkinkan para peneliti untuk melihat tren iklim selama dua milenium.

Ulf Büntgen, dari Departemen Geografi Universitas Cambridge mengungkapkan hasil penelitian ini menunjukkan luar biasanya panas di musim panas tahun 2023.

“Jika Anda melihat sejarah yang panjang, Anda dapat melihat betapa dramatisnya pemanasan global saat ini. 2023 adalah tahun yang sangat panas dan tren ini akan terus berlanjut kecuali kita mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan,” tambahnya.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pemanasan global yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca telah memperparah dampak El Niño, fenomena iklim yang menyebabkan musim panas menjadi lebih panas.

El Niño yang terjadi pada tahun 2023 diperkirakan akan berlanjut hingga awal musim panas 2024, sehingga meningkatkan kemungkinan musim panas 2024 akan kembali memecahkan rekor suhu.

“Memang benar bahwa iklim selalu berubah,” ujar Profesor Jan Esper, penulis utama studi dari Universitas Johannes Gutenberg Mainz di Jerman. Namun, pemanasan pada tahun 2023, yang disebabkan oleh gas rumah kaca, juga diperburuk oleh kondisi El Niño. Hal ini mengakibatkan gelombang panas yang lebih lama dan lebih parah serta periode kekeringan yang berkepanjangan,” ucap Profesor Jan Esper, penulis utama studi dari Johannes Gutenberg University Mainz di Jerman.

“Jika kita melihat gambaran besarnya, ini menunjukkan betapa mendesaknya kita untuk segera mengurangi emisi gas rumah kaca,” papar Profesor Esper.

Para peneliti mencatat bahwa meskipun hasil yang mereka peroleh cukup kuat untuk Belahan Bumi Utara, sulit untuk mendapatkan rata-rata global untuk periode yang sama di Belahan Bumi Selatan karena data yang lebih sedikit.

Belahan Bumi Selatan juga memberikan respons yang berbeda terhadap perubahan iklim karena wilayah ini lebih banyak tertutup lautan dibandingkan Belahan Bumi Utara.

Temuan ini merupakan bukti kuat bahwa pemanasan global merupakan ancaman serius yang harus segera ditangani.

Mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan menjadi langkah krusial untuk mencegah terjadinya gelombang panas yang lebih ekstrem dan dampak buruk lainnya di masa depan.