Pedagang Thrifting Ungkap Setor Rp550 Juta Per Kontainer untuk Masukkan Pakaian Ilegal ke Indonesia
HAIJAKARTA.ID – Praktik mafia impor ilegal pakaian bekas kembali menjadi sorotan. Dalam rapat bersama Badan Aspirasi Masyarakat (BAM), Rabu, 19 November 2025, pedagang pakaian thrifting, Rifai Silalahi, mengungkap adanya pihak-pihak yang diduga memfasilitasi masuknya barang ilegal tersebut ke Indonesia.
Rifai menyatakan bahwa pakaian bekas impor tidak mungkin bisa masuk begitu saja tanpa bantuan oknum tertentu. “Barang itu bisa masuk, tidak sekonyong-konyong sampai ke Indonesia. Artinya ada yang memfasilitasi,” ujarnya.
Ia menyebutkan, satu kontainer pakaian bekas ilegal yang masuk melalui pelabuhan dikenakan biaya sekitar Rp 550 juta, yang dibayarkan kepada oknum-oknum penyelundup.
Rifai memperkirakan nilai total barang ilegal yang masuk ke Indonesia mencapai ratusan miliar rupiah setiap bulan. “Kurang lebih Rp 550 juta per kontainer, dan ada lebih dari 100 kontainer per bulannya,” katanya.
Rifai menegaskan bahwa keuntungan dari praktik ilegal itu dinikmati oleh oknum tertentu tanpa memberikan pemasukan pajak kepada negara. Ia memaparkan bahwa jalur penyelundupan pakaian bekas umumnya melalui Kalimantan Barat, terutama Pontianak, serta jalur barat melalui Riau.
“Kami pedagang, bukan importirnya. Kami hanya membeli dari para importir mafia itu. Kami tahu jalurnya karena kami berada di dalam mata rantainya,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Rifai meminta pemerintah untuk mempertimbangkan legalisasi usaha thrifting. Menurutnya, legalisasi akan memungkinkan pedagang membayar pajak serta memberikan kepastian usaha. “Kita mau bayar pajak. Selama ini masuknya barang ilegal ke Indonesia hampir ratusan miliar setiap bulan,” katanya.
Rifai juga membandingkan kondisi di Indonesia dengan negara-negara maju yang telah melegalkan thrifting. Ia menyebut, ada sekitar 7,5 juta orang yang menggantungkan hidup dari bisnis pakaian bekas impor.
Karena itu, ia menilai pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang berencana memberantas thrifting dari hulunya berpotensi mematikan mata pencaharian jutaan orang.
“Kalau thrifting diberantas dari hulunya, otomatis akan mematikan kurang lebih 7,5 juta pedagang,” ujar Rifai.
Sebagai alternatif, jika pemerintah tidak dapat melegalkan thrifting, Rifai mengusulkan adanya kebijakan pembatasan kuota impor alih-alih pelarangan total. “Kalau memang tidak bisa dilegalkan, setidaknya diberi kuota dengan larangan terbatas, bukan dimatikan,” katanya.
Ia juga menanggapi anggapan bahwa thrifting mengancam UMKM lokal. Rifai menilai penyebab utama melemahnya UMKM justru berasal dari dominasi produk impor murah, khususnya dari Tiongkok. “Data kami menunjukkan lebih dari 80 persen pasar dikuasai produk China. Produk UMKM hanya sekitar 5 persen,” ujarnya.

