Follow WhatsApp Channel Haijakarta.id
Follow

HAIJAKARTA.ID- Pemerintah rencanakan rumah subsidi diperkecil, luas tanah 60 jadi 25 meter per seginya?

Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) saat ini tengah merancang sebuah regulasi baru yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan program perumahan subsidi.

Khususnya rumah yang dibangun melalui skema Kredit/Pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).

Rumah Subsidi Diperkecil

Regulasi tersebut sedang difinalisasi dalam bentuk Keputusan Menteri PUPR Nomor/KPTS/M/2025, dan kabarnya akan mengatur sejumlah aspek penting terkait batasan minimal dan maksimal rumah subsidi.

Tidak hanya itu, aturan tersebut juga akan mengatur harga jual rumah subsidi, serta menentukan besaran bantuan subsidi uang muka yang akan diberikan kepada masyarakat penerima manfaat.

Salah satu poin krusial dalam draf aturan ini yang menjadi sorotan publik adalah rencana pengurangan ukuran minimal rumah subsidi.

Jika mengacu pada ketentuan yang berlaku saat ini, yaitu Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023, luas minimal tanah untuk rumah subsidi adalah 60 meter persegi, dan luas bangunan minimumnya adalah 21 meter persegi.

Namun dalam rancangan aturan yang baru, angka ini akan mengalami penyesuaian yang cukup signifikan.

Nantinya, luas tanah minimal akan dikurangi menjadi hanya 25 meter persegi, dan luas bangunan minimal juga akan diperkecil menjadi 18 meter persegi.

Meskipun ukuran minimum dikurangi, aturan tersebut tetap mempertahankan batas maksimal rumah subsidi.

Luas tanah maksimal yang diperbolehkan masih 200 meter persegi, sementara batas maksimal untuk luas bangunan rumah subsidi tetap berada pada angka 36 meter persegi, seperti yang telah diatur dalam regulasi sebelumnya.

Perubahan Ukuran Subsidi Berkaitan dengan Kondisi Lapangan

Terkait dengan rencana ini, Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI), Joko Suranto, memberikan tanggapannya.

la menyampaikan bahwa perubahan ukuran minimal rumah subsidi kemungkinan besar berkaitan dengan kondisi nyata di lapangan, yang saat ini tengah menghadapi sejumlah tantangan, seperti keterbatasan ketersediaan lahan yang cocok untuk pembangunan perumahan, terutama di wilayah perkotaan atau daerah padat penduduk.

Selain itu, harga tanah yang terus mengalami kenaikan, terutama di kawasan strategis, membuat pengembang harus berpikir ulang agar rumah subsidi tetap dapat dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah atau menengah ke bawah.

Dalam pandangan Joko, walaupun alasan pengurangan luas tersebut dapat dipahami, pemerintah dan pengembang tetap perlu mempertimbangkan faktor kelayakan dan kenyamanan tempat tinggal bagi masyarakat.

la menekankan bahwa ukuran rumah bukan sekadar angka teknis dalam dokumen kebijakan, tetapi juga menyangkut aspek kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan penghuninya.

Oleh sebab itu, setiap kebijakan sebaiknya tetap mengacu pada standar-standar yang sudah ditetapkan secara nasional maupun internasional, seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Rumah Ideal Menurut WHO dan SNI

Joko menjelaskan bahwa menurut acuan WHO, luas rumah yang ideal bagi satu individu adalah sekitar 10 hingga 12 meter persegi.

Dengan demikian, apabila dalam satu rumah tinggal satu keluarga yang terdiri atas empat orang, maka luas hunian yang dianggap layak adalah sekitar 40 hingga 48 meter persegi.

Hal ini bertujuan agar seluruh anggota keluarga dapat hidup dengan ruang gerak yang cukup, tidak berdesakan, dan tetap bisa beraktivitas dengan nyaman di dalam rumah.

Di sisi lain, SNI menetapkan standar luas rumah ideal yang sedikit lebih rendah, yakni 9 meter persegi per orang.

Maka, jika satu rumah dihuni oleh empat orang anggota keluarga, maka luas hunian yang sesuai standar adalah 36 meter persegi.

Ukuran ini memang lebih kecil dibandingkan acuan WHO, tetapi menurut Joko, ukuran 36 meter persegi masih dapat diterima sebagai batas minimum kelayakan hunian.

Meski begitu, ia mengingatkan bahwa standar tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan aspek kenyamanan dan kualitas hidup para penghuni.

Joko juga mengingatkan bahwa apabila pemerintah benar-benar ingin merealisasikan pengurangan batas minimum luas rumah subsidi, maka sebaiknya dilakukan penyesuaian terlebih dahulu terhadap standar kelayakan yang berlaku, seperti SNI.

Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi pertentangan antara kebijakan baru dengan standar teknis yang sudah lebih dulu ditetapkan.

la menegaskan bahwa rumah subsidi seharusnya tidak hanya dinilai dari aspek keterjangkauan harga semata, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek fungsional, keamanan, dan kesehatan lingkungan tempat tinggal.

Sebagai penutup, Joko berharap agar setiap kebijakan yang dibuat pemerintah tetap memperhatikan kebutuhan riil masyarakat, kualitas hidup penghuni, serta standar pembangunan rumah yang layak huni.

Dengan begitu, program rumah subsidi tidak hanya membantu masyarakat memiliki rumah, tetapi juga benar-benar memberikan kehidupan yang lebih baik dan bermartabat bagi seluruh lapisan masyarakat.