sosmed-whatsapp-green Follow WhatsApp Channel Haijakarta.id
Follow

HAIJAKARTA.ID- Pengamat pendidikan kritik kurikulum Merdeka, yang menurutnya mencerminkan politasi dan kapitalisasi dalam dunia Pendidikan.

Darmaningtyas mengungkapkan bentuk keprihatinnya terkait pemberian label “Merdeka Belajar” pada kurikulum pada masa jabatan Nadiem Makarim.

Menurut Darmaningtyas, kurikulum seharusnya tidak boleh diberi “merek” atau label khusus yang mengasosiasikannya dengan seorang individu atau figur tertentu, apalagi pejabat pemerintah.

Ia juga menilai bahwa kurikulum adalah milik publik dan harus bersifat nasional, tidak boleh menjadi produk yang dikaitkan dengan nama seseorang, terutama pejabat yang membuat kebijakan tersebut.

Pemerintah Tidak Pernah Memberikan Label Khusus Pada Kurikulum

Darmaningtyas menyoroti bahwa pada masa-masa sebelumnya, pemerintah tidak pernah memberikan label khusus pada kurikulum.

Sebagai contoh, ia menyebutkan bahwa kurikulum-kurikulum terdahulu diberi nama berdasarkan tahun pembuatan atau implementasinya, seperti Kurikulum 1947, Kurikulum 1975, Kurikulum 2006, dan Kurikulum 2013.

Dengan penamaan semacam itu, kurikulum tidak terikat pada sosok individu tertentu dan lebih mencerminkan perjalanan sejarah dan perkembangan pendidikan nasional yang berlaku untuk semua generasi.

Munculnya Kurikulum Merdeka Seolah-olah Tampak Jadi “Produk” Pribadi Nadiem Makarim

Dengan munculnya Kurikulum Merdeka, ia melihat bahwa sistem pendidikan telah berubah, di mana kurikulum tersebut tampak seolah-olah menjadi “produk” pribadi dari Menteri Nadiem Makarim.

Menurutnya, hal ini menunjukkan adanya bentuk politisasi yang kuat dalam sektor pendidikan.

Darmaningtyas juga memprediksi bahwa nama Kurikulum Merdeka mungkin akan diubah di masa mendatang jika terjadi pergantian menteri, yang menandakan bahwa kurikulum tersebut tidak memiliki dasar yang netral, melainkan terkait dengan kebijakan individu yang bersifat sementara.

Selain itu, Darmaningtyas juga mengkritik aspek kapitalisasi dalam pelaksanaan Kurikulum Merdeka.

Menurutnya, penggunaan label “Merdeka Belajar” dan implementasi kurikulum melalui platform digital serta serangkaian materi pelajaran yang dapat diakses secara online adalah bagian dari upaya kapitalisasi pendidikan.

Ia berpendapat bahwa dengan mencanangkan kurikulum ini, ada potensi besar bagi sektor swasta atau pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan komersial dari produk-produk pendidikan yang diluncurkan dalam rangka mendukung kurikulum ini.

Hal ini, menurut Darmaningtyas, menjadikan pendidikan sebagai objek kapitalisasi yang berpotensi menyimpang dari tujuan utama pendidikan sebagai alat pembelajaran yang inklusif dan merata bagi semua siswa di Indonesia.

Perubahan Harus Berpegang Teguh Pada Prinsip Netralitas dan Kebersamaan

Darmaningtyas menambahkan bahwa meskipun perubahan kurikulum wajar dilakukan seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan pendidikan seharusnya perubahan ini tetap berpegang pada prinsip-prinsip netralitas dan kebersamaan.

Kurikulum, menurutnya, harus mencerminkan kepentingan bersama dan tidak boleh digunakan untuk mempromosikan agenda pribadi atau komersial.

Oleh karena itu, ia berharap bahwa jika terjadi pergantian menteri di masa mendatang, Kurikulum Merdeka ini tidak dilanjutkan dalam bentuknya yang saat ini karena menurutnya hal itu bisa merugikan dunia pendidikan dan menjauhkan kurikulum dari fungsinya sebagai alat pendidikan yang adil dan merata.

Darmaningtyas juga menyebut bahwa kurikulum yang dihasilkan seharusnya melayani kepentingan seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.

Ia menegaskan pentingnya agar pemerintah tetap berfokus pada pengembangan kurikulum yang inklusif, transparan, dan bermanfaat bagi semua pelajar di Indonesia.

Dan tanpa melibatkan unsur-unsur yang berpotensi mempolitisasi atau mengkomersialisasikan pendidikan.

Dalam pandangannya pendidikan harus tetap menjadi hak fundamental bagi semua warga negara dan  bukan menjadi alat untuk mempromosikan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.