Follow WhatsApp Channel Haijakarta.id
Follow

Ratusan pedagang Pasar Tanah Abang protes kenaikan harga sewa (service charge) yang diberlakukan tanpa diskusi sebelumnya.

Aksi ini memuncak dengan penyegelan ratusan kios oleh pengelola tempat tersebut, yakni Perumda Pembangunan Sarana Jaya.

Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Tanah Abang, Jimmy Rory, menyatakan kekecewaan para pedagang terhadap kenaikan harga sewa yang dianggap terlalu tinggi dibandingkan dengan pedagang di blok lain.

“Kami di JPM ini adalah pedagang kecil, tapi harga ‘service charge’ yang dikenakan lebih tinggi dari Blok A, B, atau K,” ungkap Jimmy, Kamis (10/10).

Jimmy menjelaskan bahwa harga sewa awal yang disepakati sebesar Rp560 ribu, namun secara tiba-tiba, pada awal 2024 ada edaran yang menaikkan harga menjadi Rp800 ribu.

Beberapa minggu kemudian, Sarana Jaya kembali mengeluarkan edaran kenaikan harga sewa menjadi Rp1,4 juta.

Kenaikan ini diklaim oleh pengelola untuk mendukung perbaikan sarana di Pasar Tanah Abang, namun pedagang merasa fasilitas yang ada belum memadai, termasuk lantai toilet yang rusak dan ketiadaan listrik.

Selain menuntut penurunan harga sewa menjadi Rp800 ribu mulai Oktober ini, para pedagang juga meminta agar segel kios segera dibuka.

“Banyak kios, sekitar 200-an yang disegel, dan ini membuat kami tidak bisa bekerja dan mencari nafkah,” tegas Jimmy.

Pedagang juga meminta kesempatan untuk menyicil harga sewa, mengingat kondisi pasar yang sepi pembeli.

“Kami sudah berusaha mencicil, tapi belum berjalan lama, kios kami tiba-tiba disegel,” keluh Jimmy.

Jika tuntutan mereka tidak didengarkan, para pedagang berencana untuk melanjutkan laporan ke Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, dan DPRD DKI Jakarta.

“Kami ingin ketemu dengan anggota dewan atau Pj Gubernur agar masalah ini bisa segera diselesaikan,” tutupnya.

Kondisi di JPM Pasar Tanah Abang saat ini dipenuhi kios-kios yang disegel dengan kertas bertuliskan,

“KIOS INI DISEGEL. Dilarang membuka segel tanpa sepengetahuan pihak pengelola”.

Aksi protes ini menjadi simbol ketidakpuasan pedagang terhadap pengelola yang tidak mengedepankan dialog.