Rusun Subsidi Kini Disewa, Bukan Hak Milik: Ara-Purbaya Bahas Standar Baru 45 m²
HAIJAKARTA.ID – Skema baru untuk rumah susun (rusun) subsidi di wilayah perkotaan dipastikan tidak akan diberikan dengan status Hak Milik.
Pemerintah memilih menjadikannya hunian sewa.
Hal itu disampaikan langsung oleh Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Rabu (26/11/2025).
“Nanti dibangun supaya itu polanya adalah tetap milik negara, tetapi nanti disewakan,” ujar Ara, sapaan akrab Maruarar, dikutip dari Kompas.
Rusun Subsidi Kini Disewa, Bukan Hak Milik
Sebagai langkah awal, pemerintah menyiapkan pembangunan sembilan tower rusun subsidi pada 2026.
Proyek percontohan ini akan dibangun di wilayah perkotaan dan pesisir dengan memanfaatkan lahan milik negara.
Beberapa kota yang dinilai cocok antara lain Denpasar, Medan, dan Jakarta.
“Tahun depan 9 tower, tapi saya sudah minta tambah, mudah-mudahan ditambah,” kata Ara.
Sebelumnya, Dirjen Perumahan Perkotaan, Sri Haryati, menyampaikan bahwa hunian vertikal ini akan dikembangkan di lima kota yaitu Jakarta, Makassar, Medan, Surabaya, dan Manado.
“Jakarta sama Surabaya (dua kota yang paling siap menjadi pilot project),” ujar Sri di Kantor Kemenko Perekonomian pada Senin (17/11/2025).
Saat itu, Sri menjelaskan bahwa skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) memungkinkan rusun subsidi dibeli dengan status Hak Milik.
“FLPP nanti menjadi Hak Milik. Tapi bentuknya kan SHM Sarusun (Satuan Rumah Susun) atau seperti apa, kita bahas,” jelasnya.
Sebagai informasi, FLPP adalah fasilitas pembiayaan untuk membantu Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) agar mampu membeli rumah subsidi.
Ide Rusun 45 Meter Persegi Usai Bertemu Purbaya
Sebelumnya, Menteri PKP Maruarar Sirait (Ara) dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membahas wacana peningkatan luas minimal unit rusun subsidi menjadi 45 meter persegi.
Selama ini, ukuran unit rusun subsidi dinilai terlalu sempit dan tidak layak, terutama bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
“Kita bisa ubah. Saya pikir paling manusiawilah,” ujar Purbaya saat ditemui di Kantor Kementerian PKP, Wisma Mandiri 2, Jakarta Pusat, Selasa (14/10/2025).
Gagasan ini menyasar para pekerja profesional yang selama ini kesulitan mendapatkan hunian dekat tempat kerja, seperti guru, dosen, perawat, hingga pekerja restoran.
“Supaya prinsipnya, rumah dan tempat tinggal jangan jauh. Jadi mereka dekat ke kantor, kalau perlu jalan,” tambah Ara.
Keduanya sepakat menerapkan standar baru untuk proyek percontohan hunian vertikal dengan kualitas lebih baik.
Jika sebelumnya ukuran unit untuk MBR berada di kisaran 36–40 meter persegi, pemerintah ingin meningkatkan standar menjadi minimal 45 meter persegi agar lebih layak untuk keluarga yang memiliki anak.
Meski begitu, masih banyak hal yang harus dikaji, terutama kekhawatiran bahwa peningkatan ukuran unit dapat membuat harga rumah naik dan membebani MBR sebagai target utama program ini.
“Sekarang sedang mempersiapkan. Kalau kita enggak persiapkan, maju-mundur maju-mundur, nanti oh ini legalnya salah, oh ini apa namanya, harganya kemahalan, oh ini begini-gini, mesti di-sounding,” kata Ara di Cawang, Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (13/11/2025).
Pemerintah juga perlu meminta masukan dari MBR untuk memastikan kebijakan rusun 45 meter persegi benar-benar sesuai kebutuhan mereka.
Di samping itu, aspek legalitas, pembiayaan, ketersediaan lahan, serta desain teknis turut menjadi pekerjaan rumah.
“Ada 5 aspek skema, yaitu legal, lahan, pembiayaan, hunian, dan teknis desainnya,” jelas Ara.

