sosmed-whatsapp-green Follow WhatsApp Channel Haijakarta.id
Follow

HAIJAKARTA.ID – Tarif MRT Jakarta dan LRT Jabodebek tidak naik meski ada pengurangan Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta hampir Rp15 triliun.

Kepastian itu disampaikan oleh Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) DKI Jakarta, Syafrin Liputo.

Syafrin mengatakan analisis subsidi tarif MRT dan LRT masih masuk ke dalam perhitungan.

“Jadi untuk subsidi transportasi saya pastikan tarif MRT dan LRT tidak naik. Karena berdasarkan kajian, untuk perhitungan analisis ability to pay nya pengguna, ini masih dalam batas tarif yang berlaku saat ini,” kata Syafrin di Jakarta Pusat, Jumat (9/10/2025).

“Jadi kalau kita lihat hitungan tahun lalu, angka keekonomian tarif MRT itu Rp 13 ribu sekian, tarifnya Rp 7 ribu. Sehingga subsidi 2024 rata-rata per pelanggan itu sekitar Rp 6 ribu rupiah dan ini masih masuk dari perhitungan kita. Jadi tidak ada kenaikan tarif MRT dan LRT,” sambungnya.

APBD DKI Jakarta 2026 Turun

Sebagai informasi, Kementerian Keuangan memotong DBH untuk Pemprov DKI Jakarta hingga Rp15 triliun.

Pemotongan itu mengubah postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2026 dari semula Rp95 triliun menjadi sekitar RP79 triliun.

Oleh karena itu, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung meminta Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) putar otak untuk mencari skema pendanaan usai DBH Jakarta dipotong.

Pramono mengakui potongan DBH Jakarta sangat besar, meski begitu ini tidak boleh menjadi sandungan untuk menjalankan program.

“Jadi era menggunakan dana besar yang tanpa pengawalan ketat sudah lewat. Sekarang pasti akan kami kawal secara khusus,” kata Pramono Anung kepada wartawan di Balai Kota, Senin (6/10/2025).

Subsidi MRT Jakarta Cukup Menutupi Biaya Layanan

Sementara itu, Direktur Utama MRT Jakarta, Tuhiyat mengatakan keberlangsungan perusahaan tidak bergantung penuh pada dana transfer pemerintah.

Menurutnya, sejak awal MRT Jakarta dibangun dengan strategi bisnis yang berorientasi pada keberlanjutan melalui diversifikasi sumber pendapatan.

“Ada DBH, tidak ada DBH, MRT Jakarta memang sejak awal kami upayakan non-farebox. Jadi begini, ada pendapatan dari penumpang atau tarif. Kalau ridership-nya naik, ditopang oleh PSO (Public Service Obligation),” ujar Tuhiyat.

“Kalau nilai keekonomian MRT sekitar Rp32 ribu per penumpang dan tarif yang dibayar masyarakat Rp14 ribu, berarti ada sekitar Rp18 ribu yang disubsidi pemerintah melalui PSO. Itu sudah cukup untuk menutup biaya layanan,” lanjutnya.