Follow WhatsApp Channel Haijakarta.id
Follow

HAIJAKARTA.ID – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Diponegoro (Undip) menyampaikan protes keras setelah merasa namanya dicatut dalam unggahan DPR RI terkait keterlibatan mereka dalam penyempurnaan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).

BEM Undip menuntut DPR RI menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dalam waktu 3×24 jam.

“Kami BEM Universitas Diponegoro memberikan peringatan kepada pimpinan Komisi III DPR RI dalam jangka waktu 3×24 jam untuk memberikan pernyataan maaf ke publik atas pencatutan nama-nama lembaga,” kata Ketua BEM Undip, Aufa Atha Ariq, saat dihubungi detikJateng, Rabu (19/11/2025).

Sebelumnya, DPR RI mengunggah informasi yang menyebut bahwa proses penyempurnaan RKUHAP telah melibatkan organisasi masyarakat, perguruan tinggi, organisasi advokat, hingga mahasiswa, termasuk BEM Undip, melalui mekanisme Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).

Ariq membantah keras klaim tersebut. “Kami BEM Universitas Diponegoro secara kelembagaan menyatakan bahwa tidak pernah sekalipun ikut dalam proses tersebut dengan DPR RI yang membahas soal RKUHAP,” tegasnya.

Ia menilai unggahan DPR RI tidak hanya mencatut satu atau dua lembaga, tetapi lebih banyak pihak lain yang turut disebut tanpa pernah terlibat. Hal itu memunculkan pertanyaan mengenai transparansi proses penyusunan RKUHAP.

“DPR RI kami rasa menambahkan nama lembaga-lembaga yang tidak pernah ikut memberikan aspirasi dalam RDP, untuk menambahkan legitimasi kuat bahwa telah melakukan meaningful participation,” ujarnya.

Ariq juga mempertanyakan apakah proses penyusunan RKUHAP benar-benar melibatkan elemen masyarakat secara substansial atau hanya sekadar formalitas.

“Kami mempertanyakan apakah benar dalam merancang RUU KUHAP lembaga DPR RI melibatkan seluruh elemen masyarakat, atau hanya ‘kosmetik’ semata untuk memenuhi meaningful participation,” katanya.

BEM Undip menegaskan akan mengambil langkah hukum jika DPR RI tidak memberikan klarifikasi dan permintaan maaf sesuai batas waktu yang ditetapkan. “Kami akan mengeskalasikan kasus ini secara lebih besar, melakukan gugatan ke MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) atau gugatan PMH (Perbuatan Melawan Hukum),” tutur Ariq.

Ia menutup pernyataannya dengan menyoroti kualitas partisipasi publik yang diklaim DPR RI. “Kami melihat belum semua elemen menyampaikan pendapatnya. Dengan adanya pencatutan ini, kami ragu dengan kualitas meaningful participation DPR RI,” ujarnya.