sosmed-whatsapp-green Follow WhatsApp Channel Haijakarta.id
Follow

HAIJAKARTA.ID – Banyak dari warga penasaran bagaimana perbedaan minyak babi dan minyak sawit.

hal ini lantaran kasus yang sempat menghebohkan jagat maya tentang kremesan ayam goreng dari salah satu warung makan di Solo.

Isu ini mencuat setelah sejumlah konsumen mencurigai aroma dan rasa kremesan yang disebut tidak biasa.

Perbedaan Minyak Babi dan Minyak Sawit Menurut Pakar

Menanggapi kabar tersebut, Agil Dhiemitra Aulia Dewi, Dosen Program Studi Gizi Universitas Aisyiyah (Unisa) Jogja sekaligus Ketua Halal Center Unisa, menjelaskan perbedaan mendasar antara minyak babi dan minyak sawit dari sisi kandungan dan karakteristik fisiknya.

Menurut Agil, minyak babi berasal dari jaringan lemak hewan, sehingga lebih kental dan tidak berwarna kuning seperti minyak kelapa sawit yang bersumber dari tumbuhan.

“Minyak dari babi cenderung lebih padat dan berlemak karena asalnya dari hewani. Sementara minyak sawit lebih cair dan berwarna kuning khas nabati,” jelas Agil saat diwawancarai Rabu (28/5/2025).

Ia menambahkan, minyak babi sebenarnya adalah lemak babi yang dicairkan, dan biasa digunakan dalam berbagai resep masakan China dan Barat karena memberikan sensasi rasa yang lebih gurih dan crispy.

Kandungan Lemak Jenuh Tinggi

Perbedaan signifikan lainnya terletak pada kadar lemak jenuh. Minyak babi memiliki kandungan lemak jenuh dan kalori lebih tinggi dibandingkan minyak nabati.

“Kalau soal rasa, memang minyak babi bisa memberikan hasil masakan yang lebih renyah dan aromanya kuat. Tapi kandungan lemak jenuhnya jauh lebih tinggi, sehingga tidak baik jika dikonsumsi terus-menerus,” ujar Agil.

Efek Kesehatan dari Konsumsi Berlebihan

Agil mengingatkan bahwa konsumsi minyak babi secara berlebihan berisiko menyebabkan hiperkolesterolemia dan penyakit jantung koroner.

Meski begitu, minyak sawit juga tak sepenuhnya aman.

“Minyak sawit bisa berbahaya jika mengandung lemak tidak jenuh yang rusak akibat pemanasan tinggi. Ini bisa menghasilkan zat oksidatif yang bersifat karsinogenik atau memicu kanker,” ungkapnya.

Isu Halal Jadi Faktor Penting

Dalam konteks Indonesia, Agil menekankan bahwa persoalan utama bukan hanya soal kandungan gizi, tapi status kehalalan produk.

Hal ini menyangkut kewajiban pelaku usaha mikro dan kecil untuk mencantumkan label halal sesuai peraturan yang berlaku.

“Konsumen berhak tahu kandungan produk. Jika tidak halal, pelaku usaha wajib mencantumkan label tersebut agar tidak menyesatkan,” tegasnya.

Ia juga menyatakan bahwa pelanggaran terhadap aturan sertifikasi halal dapat dikenakan sanksi hukum oleh pemerintah.