Follow WhatsApp Channel Haijakarta.id
Follow

HAIJAKARTA.ID – Kompleks Makam Raja Mataram Imogiri Bantul menjadi salah satu situs paling bersejarah di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bukan hanya kawasan pemakaman, tetapi sejarah pemakaman Raja Mataram Imogiri ini diyakini sebagai simbol kebesaran dan spiritualitas para raja Mataram Islam yang berkuasa sejak abad ke-17.

Pembangunan kompleks makam ini dimulai pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613–1646 M), penguasa besar yang memindahkan pusat kejayaan Mataram Islam ke Kotagede.

Sejarah Pemakaman Raja Mataram Imogiri Bantul

Menurut penelitian Muhammad Chawari dalam Studi Kelayakan Arkeologi di Kompleks Makam Imogiri, pembangunan kompleks ini dilakukan ketika pusat pemerintahan Mataram masih berada di Kotagede.

Saat itu, dibangun pula kompleks makam Girilaya sekitar tahun 1629–1630 Masehi di bawah pengawasan Panembahan Juminah.

Peri Mardiono dalam bukunya Tuah Bumi Mataram menuliskan bahwa proyek besar pembangunan Makam Raja Mataram Imogiri Bantul dimulai tahun 1632 M.

Pekerjaan tersebut dipimpin oleh Kiai Tumenggung Citrokusumo atas perintah langsung Sultan Agung.

Lokasi dipilih di atas perbukitan antara Desa Girirejo dan Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, sekitar 16 kilometer di selatan Keraton Yogyakarta.

Nama Imogiri sendiri berasal dari dua kata, hima (kabut) dan giri (gunung), yang berarti “gunung berkabut”.

Pemilihan bukit ini berkaitan erat dengan kepercayaan Jawa pra-Hindu dan Hindu bahwa tempat tinggi dianggap sakral, tempat bersemayamnya arwah para leluhur.

Arti dan Makna Struktur Kompleks Pemakaman

Abimana Gumelar dalam buku Jaga Batin Sultan Agung mencatat bahwa pembangunan Astana Imogiri selesai sekitar tahun 1645-1646 M.

Komplek pemakaman ini terletak di Desa Pajimatan, Kecamatan Imogiri.

Kompleks makam dibangun di atas Bukit Merak dengan ketinggian 85–100 meter di atas permukaan laut.

Menurut Chawari, kompleks ini terbagi menjadi tiga kelompok besar yang dipisahkan oleh pagar dan gapura bergaya paduraksa:

1. Kedaton Sultan Agungan dan Pakubuwanan

Terletak di tengah dan menjadi tempat peristirahatan raja-raja Mataram sebelum Perjanjian Giyanti.

2. Bagasan-Girimulya

Letaknya ada di sisi barat, tempat pemakaman raja-raja Kasunanan Surakarta.

3. Kaswargan-Saptarengga

Berada di sisi timur, diperuntukkan bagi raja-raja Kasultanan Yogyakarta.

Makam Sultan Agung sendiri berada di titik paling tinggi, melambangkan kedudukannya sebagai tokoh yang paling dihormati dalam sejarah Mataram.

Jenis Kompleks Raja-Raja Surakarta

1. Astana Kaswargan Surakarta

Kompleks tertua ini menjadi tempat peristirahatan tiga raja besar Kasunanan Surakarta:

  • Pakubuwana III, pendiri Surakarta setelah perpindahan dari Kartasura (1745).
  • Pakubuwana IV, raja yang dikenal mencintai sastra dan memperkuat nilai Islam di keraton.
  • Pakubuwana V, penguasa pada masa tekanan kolonial Belanda.

Mereka menjadi fondasi kejayaan Kasunanan Surakarta sebagai penerus sah Dinasti Mataram Islam.

2. Astana Kapingsangan Surakarta

Kompleks ini menaungi empat penerus tahta berikutnya:

  • Pakubuwana VI, yang berani menentang Belanda dan akhirnya dibuang ke Ambon.
  • Pakubuwana VII, menjaga stabilitas politik keraton.
  • Pakubuwana VIII, memerintah singkat namun berperan menjaga kesinambungan dinasti.
  • Pakubuwana IX, memimpin pada masa transisi budaya di akhir abad ke-19.

3. Astana Girimulya Surakarta

Terletak di bagian paling atas, kompleks ini menampung tiga raja terakhir:

  • Pakubuwana X, raja visioner yang dicintai rakyat dan simbol kemakmuran.
  • Pakubuwana XI, penguasa di masa pendudukan Jepang hingga awal kemerdekaan.
  • Pakubuwana XII, raja modern yang menjadi jembatan antara era kerajaan dan republik.
  • Ketiganya menjadi simbol perjalanan spiritual dan kebangsawanan Surakarta.

Mitos Jumlah Anak Tangga yang Tak Pernah Sama

Kompleks Makam Raja Mataram Imogiri Bantul juga dikenal karena keunikan jumlah anak tangganya.

Menurut Abdi Dalem sekaligus juru kunci, Yoto Astono, jumlah anak tangga mencapai 498. Namun, banyak peziarah yang melaporkan hasil hitungan berbeda setiap kali mencoba menghitungnya.

“Perbedaan hitungan itu karena gangguan konsentrasi saja, misalnya karena ada orang lewat,” tutur Yoto sambil berkelakar.

Ia menjelaskan bahwa tangga menuju makam Sultan Agung terdiri dari beberapa bagian yakni total 409 anak tangga hingga pintu gerbang utama, dengan tambahan sekitar 89 anak tangga menuju puncak makam Sultan Agung.

Tak hanya itu, konon di area makam ini juga dikebumikan sosok pengkhianat bernama Tumenggung Endranata dalam versi lain disebut sebagai J.P. Coen, tokoh VOC yang menjadi musuh besar Sultan Agung.

Di tempat ini terdapat sebuah batu tak beraturan yang dipercaya sebagai penanda makam tersebut.

Para pengunjung yang menuju ke makam disilakan menginjak batu itu sebagai peringatan akan pentingnya kesetiaan, sekaligus simbol agar manusia menjauh dari segala bentuk pengkhianatan.