sosmed-whatsapp-green Follow WhatsApp Channel Haijakarta.id
Follow

HAIJAKARTA.ID – Kini, sarana edukasi publik semakin beragam.

Gerakan tepuk-tepuk  mulai menarik perhatian masyarakat sejak viralnya Tepuk Sakinah karya Kementerian Agama (Kemenag).

Tren ini kemudian diikuti oleh berbagai instansi pemerintah yang membuat versi masing-masing, salah satunya Tepuk Gempa dari BMKG untuk edukasi mitigasi bencana.

BMKG Perkenalkan Tepuk Gempa untuk Edukasi Bencana

Berawal dari video edukatif calon pengantin di Kantor Urusan Agama (KUA), tren “tepuk-tepuk” kini digunakan berbagai lembaga untuk menyampaikan pesan sosial.

Salah satunya adalah Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang memperkenalkan Tepuk Gempa melalui akun Instagram resmi @infobmkg pada Sabtu (11/10/2025).

Tujuan utama Tepuk Gempa adalah memberikan edukasi tentang langkah-langkah penyelamatan diri saat terjadi gempa bumi.

Dalam unggahan tersebut, BMKG mengajak masyarakat untuk memahami prosedur mitigasi bencana dengan cara yang ringan dan mudah diingat.

Selain BMKG, instansi lain seperti Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meluncurkan “Tepuk Pajak” guna meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak.

Tak kalah kreatif, Polres Majalengka memperkenalkan “Tepuk Keselamatan Lalu Lintas” di akun resmi @satlantasmajalengka pada Jumat (10/10/2025).

Kasat Lantas Polres Majalengka, AKP Rudy Sudaryono, menuturkan bahwa ide tersebut muncul setelah melihat viralnya “Tepuk Sakinah”.

“Kami berusaha memberikan edukasi keselamatan lalu lintas dengan cara yang lebih ringan dan mudah diingat masyarakat,” ujarnya.

Belum Menyentuh Akar Masalah

Meski tren ini tampak positif, sejumlah ahli mempertanyakan efektivitasnya sebagai media edukasi publik.

Menurut Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS), Drajat Tri Kartono, fenomena seperti Tepuk Gempa memang kreatif dari sisi komunikasi publik.

“Konten semacam itu cukup menarik dan mampu menarik perhatian masyarakat luas,” katanya kepada Kompas.com, Selasa (14/10/2025).

Namun, Drajat menilai bahwa pendekatan “tepuk” masih sebatas pada lapisan permukaan pembelajaran sosial.

“Edukasi dengan cara seperti ini tidak otomatis memberikan pemahaman yang mendalam,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa pesan edukatif seharusnya dikaitkan dengan realitas sehari-hari agar lebih relevan.

“Masalah yang diangkat perlu disesuaikan dengan konteks kehidupan masyarakat. Diskusi dan interaksi sosial juga penting untuk menanamkan nilai edukasi,” ujarnya.

Kendati begitu, Drajat mengakui bahwa Tepuk Gempa maupun “Tepuk Sakinah” bisa menjadi pintu awal bagi masyarakat untuk lebih peduli terhadap isu tertentu.

“Konten seperti ini bisa memantik kesadaran, tapi belum cukup membentuk pengetahuan dan perubahan perilaku,” tambahnya.

Dampak Psikologis Tepuk Gempa Masih di Tahap Awal

Pendapat senada diungkapkan Eka Riyanti Purboningsih, dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) sekaligus peneliti media sosial.
Menurutnya, dari sisi psikologi pembelajaran, efek “tepuk-tepuk” seperti Tepuk Gempa hanya berpengaruh pada tahap awal proses kognitif.

“Secara psikologis, gerakan dan lagu tepuk hanya memengaruhi tahap mengenal dan mengingat, belum sampai pada perubahan perilaku nyata,” jelasnya kepada Kompas.com, Senin (13/10/2025).

Ia merujuk pada taksonomi Bloom, yang menjelaskan bahwa mengenal dan mengingat hanyalah fondasi awal dari proses pembelajaran kompleks seperti memahami, menerapkan, dan menciptakan.

“Kalau hanya hafal gerakan dan liriknya, itu baru langkah pertama,” tambahnya.

Meski demikian, Eka mengakui bahwa Tepuk Gempa efektif untuk menarik perhatian publik dan memudahkan pengingatan pesan.

“Daya ingat masyarakat bisa meningkat lewat metode ini, tetapi belum tentu berdampak pada perubahan perilaku,” ungkapnya.

Fenomena Tepuk Gempa dan variasi “tepuk” lainnya membuktikan bahwa kreativitas lembaga pemerintah dalam menyampaikan pesan publik semakin berkembang.

Namun, agar fungsi edukatifnya benar-benar terasa, para ahli menekankan perlunya pengembangan konten yang lebih kontekstual dan menyentuh perilaku masyarakat secara nyata.

Tren ini bisa menjadi langkah awal menuju kampanye sosial yang lebih efektif—selama tidak berhenti hanya pada aspek hiburan semata.